Potensi ketertarikan pada lawan jenis merupakan insting biologis (garizah) yang
dibawa sejak lahir. Potensi ini mulai aktual ketika hormon seksual diproduksi
oleh tubuh di usia baliqh yang ditandai dengan perubahan pisik dan psikhis.
Kecederungan ini adalah karunia Allah kepada manusia dalam rangka melanjutkan
kehidupan ummat manusia..(lajnah pentashhihan.2012:11-12)
Dalam sudut pandang Islam, jika seorang anak telah sampai pada taraf kematangan (muturation) secara seksual disebut baliqh. Masa baliqh ini adalah ketika seseorang telah sampai pada taklif dan yang telah mencapainya disebut mukallaf, yaitu orang tersebut telah dibebankan kewajiban syar’i kepadanya. Mulai saat itu seorang anak disebut dewasa karena ia harus mempertanggungjawabkan setiap amal perbuatannya kepada Allah. Apabila ia berbuat baik maka akan diganjar dengan pahala, sebaliknya jika berbuat salah, maka ia akan mendapat balasannya di dunia maupun di akhirat.
Islam memberi lampu hijau untuk melakukan pernikahan setelah masa baligh ini. Selain karena sudah masa taklif, ia dianggap sudah mampu berpikir matang dan dapat membedakan baik dan buruk. Pernikahan untuk menjaga diri dari perbuatan zina atau seks bebas merupakan hal yang dipandang baik dalam ajaran Islam.
Dalam hadist disebutkan : “Wahai para pemuda, siapa diantara kalian telah memiliki kesanggupan berumah tangga maka hendaklah ia menikah, karena hal itu dapat embatasi pandangan dan memelihara kehormatan, akan tetapi jika ia belum mampu melakukannya maka hendaklah ia berpuasa karena hal itu dapat menjadi perisai (HR.Bukhari Muslim)
Kata pemuda / syabaab dalam hadist tersebut diartikan sebagai seorang yang sudah mencapai usia baliqh dan belum mencapai 30 tahun (Abdurrahman,Ad-Dibaaj:8). Kematangan secara seksual memang menimbulkan dorongan syahwat untuk beraktifitas yang mengarah kepada kegiatan reproduksi. Hal inilah yang mendorong manusia menuju kehinaan apabila hasrat tersebut disalurkan secara bebas tanpa melalui pernikahan yang sah. Jika sang pemuda tersebut belum mampu menikah maka Islam menganjurkan untuk memperbanyak puasa (tidak makan dan minum) serta menahan diri dari hal-hal yang mengarahkan kepada rangsangan syahwat.
Di jelaskan Dalam al-qur’an surah an-nisa’: 28. Allah hendak memberikan keringanan kepadamu[286], dan manusia dijadikan bersifat lemah. Para ahli tafsir menjelaskan bahwa ayat ini menunjukan bahwa manusia pada dasarnya lemah terhadap godaan seksual dan tidak ada sesuatu yang paling lemah yang dimiliki oleh manusia kecuali urusan seksual (lajnah pentashhihan.2012: 15)
Kelemahan tersebut dimaknai sebagai problem manusia yang memiliki potensi untuk melampiaskan nafsu seksualnya secara tidak sah dengan dalih ketertarikan dan cinta kepada lawan jenisnya. Dalam sejarah juga ditemui berbagai macam penyimpangan perilaku manusia karena tidak mampu menahan nafsu seksualnya. Wajar jika al-qur’an mengatur sedemikian rupa masalah cinta dan seksualitas ini sesuai dengan fitrah manusia. Betapapun besarnya dorongan syahwat dan gejolak cinta dalam diri manusia, Islam tetap mengharamkan hubungan percintaan diluar pernikahan.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah mengatakan bahwa cinta terbentuk dari dua perkara : yaitu menganggap baik sesuatu yang dicintai dan ingin mendapatkan serta menemuinya, Apabila salah satu dari dua unsur ini tidak terpenuhi maka tidak ada yang namanya cinta dan kerinduan. Pembahasan mengenai alasan dan sebab-sebab cinta akan melelahkan banyak orang. Sebagian orang bahkan membicarakannya dengan pembicaraan yang tidak layak untuk disebut sebagai kebenaran. Cinta memang terbagi beberapa jenis. Namun cinta yang paling baik dan mulia adalah cita kepada Allah swt sehingga cinta ini mengharuskan kita mencintai apa yang dicintai Allah swt. (Ibnu Qayyim, 2008:310). Siapakah yang dicintai Allah dan kitapun mencintainya? Mereka adalah al-muhsiniin (orang-orang yang berbuat baik), al-muqsithiin (orang orang yang adil) al-mutawakkiliin (orang-orang yang bertawakkal), al-mutathahhiriin (orang-orang yang mensucikan diri), at-tawwabiin (orang-orang yang bertaubat, dan orang orang yang jihad fii sabililah (berperang dijalan Allah).
Sesungguhnya ruang lingkup cinta dalam Islam sangatlah luas jika dibandingkan dengan cinta syahwat yang terbatas fisik dan materi. Islam juga telah memberi solusi terhadap penyaluran cinta ketika seorang anak mulai baliqh. Islam menghendaki manusia untuk saling mengenal, saling menolong dan melengkapi, tujuannya tak lain adalah menuju ketakwaan. Bukan berkenalan dan bergaul tanpa batasan syariat sehingga para pemuda muslim salah dalam memaknai cinta dan terjebak dalam cinta terlarang. Tentunya hal tersebut sangat bertentangan dengan figur para pemuda pada masa kejayaan Islam yang telah berjuang dengan jiwa dan raga untuk Islam karena terdorong oleh rasa cinta yang mendalam kepada Allah dan Rasulullah.
Dalam sudut pandang Islam, jika seorang anak telah sampai pada taraf kematangan (muturation) secara seksual disebut baliqh. Masa baliqh ini adalah ketika seseorang telah sampai pada taklif dan yang telah mencapainya disebut mukallaf, yaitu orang tersebut telah dibebankan kewajiban syar’i kepadanya. Mulai saat itu seorang anak disebut dewasa karena ia harus mempertanggungjawabkan setiap amal perbuatannya kepada Allah. Apabila ia berbuat baik maka akan diganjar dengan pahala, sebaliknya jika berbuat salah, maka ia akan mendapat balasannya di dunia maupun di akhirat.
Islam memberi lampu hijau untuk melakukan pernikahan setelah masa baligh ini. Selain karena sudah masa taklif, ia dianggap sudah mampu berpikir matang dan dapat membedakan baik dan buruk. Pernikahan untuk menjaga diri dari perbuatan zina atau seks bebas merupakan hal yang dipandang baik dalam ajaran Islam.
Dalam hadist disebutkan : “Wahai para pemuda, siapa diantara kalian telah memiliki kesanggupan berumah tangga maka hendaklah ia menikah, karena hal itu dapat embatasi pandangan dan memelihara kehormatan, akan tetapi jika ia belum mampu melakukannya maka hendaklah ia berpuasa karena hal itu dapat menjadi perisai (HR.Bukhari Muslim)
Kata pemuda / syabaab dalam hadist tersebut diartikan sebagai seorang yang sudah mencapai usia baliqh dan belum mencapai 30 tahun (Abdurrahman,Ad-Dibaaj:8). Kematangan secara seksual memang menimbulkan dorongan syahwat untuk beraktifitas yang mengarah kepada kegiatan reproduksi. Hal inilah yang mendorong manusia menuju kehinaan apabila hasrat tersebut disalurkan secara bebas tanpa melalui pernikahan yang sah. Jika sang pemuda tersebut belum mampu menikah maka Islam menganjurkan untuk memperbanyak puasa (tidak makan dan minum) serta menahan diri dari hal-hal yang mengarahkan kepada rangsangan syahwat.
Di jelaskan Dalam al-qur’an surah an-nisa’: 28. Allah hendak memberikan keringanan kepadamu[286], dan manusia dijadikan bersifat lemah. Para ahli tafsir menjelaskan bahwa ayat ini menunjukan bahwa manusia pada dasarnya lemah terhadap godaan seksual dan tidak ada sesuatu yang paling lemah yang dimiliki oleh manusia kecuali urusan seksual (lajnah pentashhihan.2012: 15)
Kelemahan tersebut dimaknai sebagai problem manusia yang memiliki potensi untuk melampiaskan nafsu seksualnya secara tidak sah dengan dalih ketertarikan dan cinta kepada lawan jenisnya. Dalam sejarah juga ditemui berbagai macam penyimpangan perilaku manusia karena tidak mampu menahan nafsu seksualnya. Wajar jika al-qur’an mengatur sedemikian rupa masalah cinta dan seksualitas ini sesuai dengan fitrah manusia. Betapapun besarnya dorongan syahwat dan gejolak cinta dalam diri manusia, Islam tetap mengharamkan hubungan percintaan diluar pernikahan.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah mengatakan bahwa cinta terbentuk dari dua perkara : yaitu menganggap baik sesuatu yang dicintai dan ingin mendapatkan serta menemuinya, Apabila salah satu dari dua unsur ini tidak terpenuhi maka tidak ada yang namanya cinta dan kerinduan. Pembahasan mengenai alasan dan sebab-sebab cinta akan melelahkan banyak orang. Sebagian orang bahkan membicarakannya dengan pembicaraan yang tidak layak untuk disebut sebagai kebenaran. Cinta memang terbagi beberapa jenis. Namun cinta yang paling baik dan mulia adalah cita kepada Allah swt sehingga cinta ini mengharuskan kita mencintai apa yang dicintai Allah swt. (Ibnu Qayyim, 2008:310). Siapakah yang dicintai Allah dan kitapun mencintainya? Mereka adalah al-muhsiniin (orang-orang yang berbuat baik), al-muqsithiin (orang orang yang adil) al-mutawakkiliin (orang-orang yang bertawakkal), al-mutathahhiriin (orang-orang yang mensucikan diri), at-tawwabiin (orang-orang yang bertaubat, dan orang orang yang jihad fii sabililah (berperang dijalan Allah).
Sesungguhnya ruang lingkup cinta dalam Islam sangatlah luas jika dibandingkan dengan cinta syahwat yang terbatas fisik dan materi. Islam juga telah memberi solusi terhadap penyaluran cinta ketika seorang anak mulai baliqh. Islam menghendaki manusia untuk saling mengenal, saling menolong dan melengkapi, tujuannya tak lain adalah menuju ketakwaan. Bukan berkenalan dan bergaul tanpa batasan syariat sehingga para pemuda muslim salah dalam memaknai cinta dan terjebak dalam cinta terlarang. Tentunya hal tersebut sangat bertentangan dengan figur para pemuda pada masa kejayaan Islam yang telah berjuang dengan jiwa dan raga untuk Islam karena terdorong oleh rasa cinta yang mendalam kepada Allah dan Rasulullah.
No comments:
Post a Comment