Isra Mi’raj adalah tonggak sejarah bagi proses penyempurnaan risalah
yang diterima Rasulullah SAW. Di balik hiruk pikuk perbedaan pendapat terkait
kapan peristiwa ini terjadi, terdapat hikmah dan pelajaran berharga yang sayang
untuk dilewatkan. Rangkaian nilai dan pesan tersebut, sebut Syekh Dr Raghib
as-Sirjani dalam makalahnya berjudul “al-Isra wa al-Mi’raj Durus wa Ibar”,
dapat diposisikan sebagai motivasi untuk kembali memperteguh komitmen keagamaan
seseorang. Agar tak muncul keraguan maka poin mendasar yang mesti ditekankan
ialah para ulama, sebagaimana dinukilkan Ibn Katsir dalam Tafsir al-Quran
al-Azhim, sepakat atas kebenaran Isra Mi’raj. Perjalanan dari Masjidil Haram ke
Masjid al-Aqsha dan dari bumi ke Sidratul Muntaha, itu terjadi riil melibatkan
ruh sekaligus fisik Nabi Muhammad SAW. Penegasan ini tertuang di ayat pertama
surah al-Isra’.
yang artinya
: Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al
Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya[847]
agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami.
Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
[847]
Maksudnya: Al Masjidil Aqsha dan daerah-daerah sekitarnya dapat berkat dari
Allah dengan diturunkan nabi-nabi di negeri itu dan kesuburan tanahnya.
Isra Mi’raj seakan menyampaikan satu pesan utama bahwa solusi dan
jalan keluar niscaya akan datang bagi Muslim yang senantiasa bersabar dan
berusaha. Kekuatan doa kuat untuk mendatangkan pertolongan dari Allah SWT. Saat
masalah menghadang dakwah Rasulullah, suami Khadijah ini pun tetap tabah dan
konsisten. Keimanannya justru mendorongnya agar tetap bertahan dan memohon pertolongankepada-Nya.
Kesabaran itu berbuah manis. Sejumlah petinggi Makkah kala itu memeluk Islam
setelah sebelumnya muncul penolakan yang luar biasa dari mereka. Ada As’ad bin
Zararah, Auf bin al-Harits, Rafi’ bin Malik, Jabir bin Abdullah, Suwaid bin
a-Shamit as-Sya’ir, Iyyas bin Mu’adz, Abu Dzar al-Ghifari, dan at-Thufail bin
Amar ad-Dusi.
Isra Mi’raj juga meyakinkan umat akan urgensi lemah lembut dan
simpati dalam berdakwah. Tak satu pun kekerasan akan berdampak baik, justru
kelembutan dan kebaikanlah yang akan mempercantik suatu urusan, seperti hadis
riwayat Aisyah. Bisa saja, Rasulullah mengiyakan tawaran Jibril untuk
meluluhlantakkan penduduk Makkah menggunakan sebuah gunung.
Namun, tawaran tersebut mendapat penolakan keras dari Rasul.
“Justru, aku berharap akan keluar orang-orang mukmin dari lembah tersebut,”
tegas ayahanda dari Fatimah tersebut. Pascaperistwa Isra Mi’raj, satu per satu
penggawa Makkah berikrar syahadat, di antaranya Khalid bin al-Walid, Ikrimah
bin Abu Jahal, Ummu Habibah binti Abu Sufyan, dan Abdullah bin Abbas.“Hadiah”
paling istimewa yang diterima Rasulullah dalam peristiwa ini ialah risalah
shalat lima waktu. Perintah shalat diterima langsung oleh suami Aisyah RA saat
bertemu langsung dengan Allah SWT. Ini merupakan bukti posisi vital risalah
shalat. Shalat adalah tiang agama dan menjadi rukun kedua setelah syahadat.
Shalat, seperti ditegaskkan oleh Rasulullah, merupakan identitas kuat seorang
Muslim. “Beda antara Muslim dan kafir adalah shalat,” demikian sabda Muhammad
SAW.
Suatu saat, Umar bin Khatab pernah menulis instruksi kepada para
pegawai dan pejabat negara. Sosok yang bergelar al-Faruq ini menegaskan bahwa
shalat dijadikan sebagai takaran profesionalisme kinerja dan performa
seseorang. Shalat adalah tolok ukur konsistensi seseorang. Ayahanda Hafshah ini
yakin bila shalat seseorang terjaga maka yang bersangkutan tidak akan
menelentarkan urusan yang lain. “Urusan terpenting bagiku dari kalian adalah
shalat. Barang siapa yang menjaga dan membiasakannya maka ia telah memelihara
agamanya. Jika meninggalkannya maka ia rentan menelantarkan urusan selain
shalat,” katanya. Isra Mi’raj mengingatkan kembali dan mempertegas kedudukan
vital yang ada para risalah shalat.
Pesan tersirat dari Isra Mi’raj lainnya, yaitu menghayati keagungan
dan kebesaran kuasa Allah SWT. Terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah di
sepanjang prosesi Isra Mi’raj. Terutama, perjalanan menuju langit ketujuh. Di
saat itu pula, Rasul berkesempatan tatap muka dengan Sang Pencipta.
$tB
sø#y— çŽ|Çt7ø9$# $tBur
4ÓxösÛ
ÇÊÐÈ ô‰s)s9 3“r&u‘ ô`ÏB ÏM»tƒ#uä ÏmÎn/u‘
#“uŽö9ä3ø9$#
ÇÊÑÈ
17. penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling
dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya.
18.
Sesungguhnya Dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang
paling besar.
Pada abad ke-7 atau sekitar 1400 tahun silam, kita mendengar suatu
peristiwa maha hebat dari tanah Arab. Persitiwa itu jauh lebih mengagumkan dari
satelit ataupun sputik dan benda-benda langit lainnya. Peristiwa itu dinamakan
Isra Mi’raj Nabi Muhammad saw. Muhammad tidak saja menembus ruang angkasa di
sekitar bulan, bahkan sudah meluncur ke ufuk yang tertinggi, melalui sistem
planet, menerobos ruang langit yang luas, berlanjut terus ke gugusan Bintang
Bima Sakti, meningkat kemudian mengarungi Semesta Alam hingga sampai di ruang
yang dibatasi oleh ruang yang tak terbatas. Kemudian sampailah Rasulullah
Muhammad saw pada Ruang yang Mutlak yang dinamakan “Maha Ruang”. Inilah yang
disebut “Dan dia Muhammad di ufuk yang tertinggi” (Mudhary, 1996:21).
Peristiwa luar biasa ini kontan membuat kontroversi di masyarakat.
Ada masyarakat yang mencemooh; kebanyakan dari mereka orang kafir. Mereka
menggemboskan isu bahwa Muhammad telah gila. Kelompok kedua adalah mereka yang
ragu-ragu. Mereka terbawa oleh suasana kontradiksi, mau percaya kok rasanya
berita itu tidak masuk akal. Tapi nggak percaya, kan Muhammad tidak pernah
berbohong. Kelompok ketiga adalah mereka yang begitu yakin akan ke-Rasulan
Muhammad. Perjalanan yang kontroversial ini pun bagi mereka justru meningkatkan
kayakinannya bahwa beliau benar-benar utusan Allah.
Lantas bagaimana dengan kita? Termasuk golongan yang mana: tidak
yakin, ragu-ragu, atau yakin? Alternatif dari jawaban itu adalah bahwa kita
harus yakin dengan di-Isra-kan dan di-Mi’raj-kannya Muhammad, sekaligus
meyakinkan kaum peragu bahwa peristiwa ini pun masuk akal, logis, dan rasional.
Sebab, bisa dibuktikan secara empiris dalam ilmu pengetahuan modern
Bukankah manusia adalah salah satu magnum opus-nya Tuhan dengan
keistimewaan akalnya. Bukankah telah disinyalir Tuhan bahwa manusia memiliki
kemampuan untuk menjelajah seantero jagat raya dengan kekuasannya (QS.Ar
Rahman:33). Bahkan, Al Khazin, Al Baidlawi, dan An Nasai (Mudhary, 1996:21),
memberi tafsiran bahwa arah kata sulthan atau kekuasanannya ialah ilmu
pengetahuan yang dihasilkan oleh kecerdasan otak lahir dan ilmu pengetahuan
yang dihasilkan otak batin. Otak lahir disebut juga indera badani atau jasmani,
sedangkan otak batin disebut indra rohani. Keduanya dikenal dengan sensus
interior dan eksterior.
Hubungan antara tanda-tanda kebenaran di dalam al Qur’an dan alam
raya dipadukan melalui mukjizat Al Qur’an dengan mukjizat alam raya yang
menggambarkan kekuasaan Tuhan. Masing-masing mengakui dan membenarkan keduanya
menjadi pelajaran bagi setiap orang yang mau mendengar. Bahkan Abbas Mahmud
Aqqad (dikutip Pasya, 2004:24), memberi penjelasan makna mukjizat ilmiah dalam
al Quran dan Hadits secara lebih mendalam yakni terdapat dua macam mukjizat
yang harus dibedakan: mukjizat yang harus dicari, dan mukjizat yang memang
tidak perlu dicari.
Sayangnya pembedaan antara kedua macam mukjizat tersebut hampir
tidak kita temukan pada mereka yang pemikirannya hanya berhenti pada batas
penafsiran ilmiah terhadap fenomena alam. Tidak adanya pembedaan tersebut
kadang menyebabkan pencampuradukkan antara mukjizat ilmiah (yang berarti bahwa
Al Quran dan Hadits telah terlebih dahulu memberitahukan kita tentang fakta
atau fenomena alam sebelum ditemukan oleh ilmu empiris) dan penafsiran Al Quran
secara ilmiah (yang berarti mengungkap makna-makna baru ayat Quran atau Hadits
sesuai kebenaran teori sains). Dengan kata lain, sains menjadi perangkat untuk
menafsirkan Al Quran dan Hadits, seperti halnya ilmu bahasa dan asal usul fikih
yang juga menjadi perangkat untuk menafsirkan ayat-ayat Al Quran di bidang ilmu
keagamaan.
Dengan demikian, perjalanan Isra Mi’raj yang menjadi fenomena
mukjizat Allah tersebut mampu dikaji secara ilmiah. Pembuktian-pembuktian sains
modern telah menampakan sebuah paradigma bahwa perjalanan Muhammad menjumpai
Tuhannya dengan menembus batas-batas langit adalah benar. Sebab, perjalanan itu
bisa ditafsir ulang dengan sains kekinian, dan dibuktikan secara ilmiah.
Skenario
Isra Mi’raj dan Tafsir Fisik
“Maha
Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil
Haram ke Masjidil Aqsha yang telah diberkahi sekelilingnya oleh Allah agar Kami
perhatikan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan) Kami. Sesungguhnya
Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS Al Isra:1).
Dalam ayat ini, Allah sudah menjelaskan skenario perjalanan Isra
Mi’raj Nabi Muhammad. Sehingga dengan berpatokan pada ayat ini, kita bisa memperoleh
pemahaman yang sangat memadai tentang mukjizat Isra dan Mi’raj tersebut.
Dalam tinjauan Agus Mustofa (2006:11), setidak-tidaknya ada delapan
kata kunci yang menjadi catatan penting dan menuntut pemahaman kita menembus
batas-batas langit untuk menafsir perjalanan kontroversial ini. Baiklah, jika
kita mencoba untuk menguraikan makna kata-kata tersebut, maka akan menjadi
seperti ini:
Catatan pertama, terdapat pada kata Subhanallah, Maha Suci Allah. Hal ini
mengisyaratkan bahwa persitiwa ini sangat luar biasa. Saking spesialnya
kejadian ini, Allah sendiri memuji diri-Nya dengan ucapan Subhanallah.
Barangkali inilah salah satu bukti bahwa Allah adalah Maha dari segala Maha.
Maha tanpa batasan ruang, waktu, bahkan massa. Sehingga lanjut Quraish Shihab
(1992:338), peristiwa ini membuktikan bahwa ‘ilm dan qudrat Tuhan meliputi dan
menjangkau, bahkan mengatasi segala yang finite (terbatas) dan infinite (tak
terbatas) tanpa terbatas ruang dan waktu.
Catatan kedua,
adalah dalam kata asraa, yang telah memperjalankan. Ini berarti bahwa
perjalanan Isra Mi’raj bukan atas kehendak Rasulullah, melainkan kehendak
Allah. Dengan kata lain, kita juga memperoleh ‘bocoran’ bahwa Rasul tidak akan
sanggup melakukan perjalanan itu atas kehendaknya sendiri. Saking dahsyatnya
perjalanan ini, jangankan manusia biasa, Rasul sekali pun tidak akan bisa tanpa
diperjalankan oleh Allah.
Oleh
karena itu lanjut Agus (2006:15), Allah lantas mengutus malaikat Jibril untuk
membawa Nabi melanglang ‘ruang’ dan ‘waktu’ didalam alam semesta ciptaan Allah.
Mengapa Jibril? Sebab Jibril merupakan makhluk dari langit ke tujuh yang
berbadan cahaya. Dengan badan cahayanya itu, Jibril bisa membawa Rasulullah
melintasi dimensi-dimensi yang tak kasat mata.
Pembuktian
menurut ilmu Fisika lanjut Mudhary (1996;28), bahwa eter menjadi zat pembawa
sekaligus pelantara daya elektromagnetik. Eter adalah udara yang ringan sekali,
lebih ringan dari udara yang dihirup oleh manusia: O2. Dalam bahasa Arab
disebut dengan “Itsir”. Jika eter bergetar, niscaya membutuhkan pula zat
pembawa yang lebih halus lagi dari eter itu sendiri, agar getaran eter itu bisa
tersebar ke mana-mana.
Sedangkan
menurut Ilmu Metafisika, Rasul naik ke ruang angkasa melakukan perjalanan
Mi’rajnya tentu membutuhkan zat pembawa yang lebih halus dari jiwa atau
rohaninya. Oleh karena itu, makhluk hidup yang memiliki dua jasad: jasmani dan
rohani, maka diperlukan zat pembawa yang lebih halus dari rohani itu sendiri dan
mampu mengangkat jasmani Rasul sekaligus. Dan ternyata makhluk yang sangat
halus itu bernama Jibril.
Selain
Jibril, perjalanan super istimewa itu disertai juga oleh kendaraan spesial yang
didesain Allah dengan sangat spesial bernama Buraq. Ia adalah makhluk berbadan
cahaya yang berasal dari alam malakut yang dijadikan tunggangan selama
perjalanan tersebut. Buraq berasal dari kata Barqum yang berarti kilat. Maka,
ketika menunggang Buraq itu mereka bertiga melesat dengan melebihi kecepatan
cahaya sekitar 300.000 kilometer per detik (Mustofa, 2006:15).
Jika
seandainya kecepatan Buraq diambil serendah-rendahnya setara dengan
perbandingan kecepatan elektris saja: 300.000 kilometer per detik, maka jarak
anatara Masjidil Haram di Mekkah dengan Masjidil Aqsha di Palestina yang
berjarak 1.500 kilometer, paling tidak memakan waktu 1/200 detik. Padahal,
Buraq adalah makhluk hidup yang kecepatannya pun bisa melebihi kecepatan
elektris tadi.
Pertanyaannya
kemudian, bukankah kecepatan cahaya adalah kecepatan paling tinggi yang telah
dihasilkan Fisika Modern? Bukankah kecepatan cahaya telah mendapat legalitas
berdasarkan keputusan kongres Internasional tentang Standar Ukuran yang digelar
di Paris tahun 1983: bahwa kecepatan cahaya berada dalam vakum sebesar
299.792.458 meter per detik dibulatkan sekira 300.000 kilometer per detik. Dan
tentu saja, kecepatan cahaya berlaku sama bagi seluruh gelombang spektrum dan
mempersentasikan batas kecepatan dalam alam fisika (Ahmad, 2006:168).
Tentu
saja kecepatan setinggi itu tidak bisa dilakukan oleh sembarang benda. Hanya
sesuatu yang sangat ringan saja yang bisa memiliki kecepatan yang bisa melebihi
kecepatan cahaya. Bahkan, saking ringannya, maka sesuatu itu harus tidak
memiliki massa sama sekali. Yang bisa melakukan kecepatan itu hanya photon
saja, yaitu kuantum-kuantum penyusun cahaya. Bahkan, electron sekali pun yang
bobotnya hamper nol sekalipun tidak bisa memiliki kecepatan setinggi itu.
Sedangkan
manusia sendiri terkonstruksi dari satuan-satuan utama yang sangat kecil
dinamakan sel. Jumlahnya sekitar 390 milyar. Sel tubuh ini tidak sama, baik
bentuk, besar, maupun fungsinya. Sel-sel ini tidak terpisah satu sama lain,
tetapi hidup dalam organisasi yang harmonis (Pasya, 2004:250).
Jika
dilihat dari penyusunnya, maka berbagai macam sel itu tersusun dari
molekul-molekul. Baik yang sederhana maupun molekul yang kompleks. Mulai dari
H2O, sampai pada molekul asam amino atau proteir kompleks lainnya. Dan jika
dicermati, maka molekul itu juga tersusun dari bagian-bagian yang lebih kecil
disebut atom. Dan atom ini pun tersusun dari partikel-partikel sub atomik
seperti: proton, neutron, elektron, dan sebagainya.
Karena
manusia memiliki bobot, jangankan untuk dipercepat dengan kecepatan setingkat
kecepatan cahaya. Dengan percepatan beberapa kali gravitasi bumi (G) saja,
sudah akan mengalami kendala serius, bahkan bisa meninggal dunia.
Dalam
ilustrasinya, Agus Mustofa (2006:17) memberi gambaran tentang seorang pilot
yang melakukan manuver di angkasa. Ketika ia melakukan gerakan vertikal naik ke
langit atau manuver ‘jatuh’ ke bumi misalnya, saat itu badannya akan mengalami
tekanan alias beban yang sangat berat bergantung pada besarnya percepatan yang
ia lakukan.
Jika
pilot bermanuver ke langit dengan percepatan dua kali gravitasi bumi (2G), maka
badannya akan mengalami tekanan dua kali lipat dari biasanya. Jika bobot pilot
dalam kondisi normal 80 kg misalnya, maka pada saat melakukan manuver bobotnya
akan menjadi 160 kg. Bahkan jika percepatannya lebih tinggi lagi, rasa ‘nyuut’
di otak akan semakin besar. Seperti orang yang jatuh bebas ke dalam sebuah
sumur yang dalam. Bisa-bisa seseorang akan mengalami ‘hilang kesadaran’.
Apalagi manuver pilot dengan kecepatan 5G, pilot yang tidak terlatih bisa-bisa
mengalami balck out alias semaput atau pingsan di angkasa.
Jika
demikian, bukankah Muhammad juga seorang manusia biasa yang memiliki struktur
sama dengan pilot dalam ilustrasi tadi ketika ia melakukan perjalanan Isra
Mi’raj tersebut? Lalu bagaimana jasmani Muhammad mampu menembus lapisan langit
dengan bantuan kecepatan cahaya ? Apakah Muhammad di-Isra-kan dan di-Mi’raj-kan
dengan jasmani dan rohaninya sekaligus? Nah.
Salah
satu ‘skenario rekonstruksi’ untuk mengatasi problem ini adalah teori
Annihilasi. Teori ini mengatakan bahwa setiap materi (zat) memiliki anti
materi. Dan jika materi dipertemukan atau direaksikan dengan anti materinya,
maka kedua partikel tersebut bakal lenyap berubah menjadi seberkas cahaya atau
sinar gama (Mustofa, 2006:20).
Hal
ini telah dibuktikan di laboratorium nuklir masih dalam buku yang sama
(2006:20), bahwa jika ada partikel proton dipertemukan dengan antiproton, atau
elektron dengan positron sebagai antielektronnya, maka kedua pasangan partikel
tersebut akan lenyap dan memunculkan dua buah sinar gama, dengan energi
masing-masing 0,11 MeV untuk pasangan elektron dan 938 MeVuntuk pasangan
partikel proton.
Sebaliknya,
jika ada seberkas sinar Gama yang memiliki energi sebesar itu dilewatkan medan
inti atom, maka tiba-tiba sinar tersebut lenyap berubah menjadi dua buah
pasangan partikel seperti di atas. Hal ini menunjukan bahwa materi memang bisa
berubah menjadi cahaya dengan cara tertentu, yang disebut sebagai reaksi
Annihilasi.
Nah,
proses pengubahan materi menjadi cahaya terjadi sesaat sebelum perjalanan Isra
Mi’raj dimulai. Kejadian ini ketika Rasul disucikan oleh Jibril di dekat sumur
zam-zam. Bisa dikatakan jika proses ini adalah proses operasi hati Muhammad
dengan air zam-zam.
Kenapa
operasi hati? Bukan otak atau jantung misalnya? Ya, sebab hati adalah pangkal
dari seluruh aktifitas badani. Bahkan Rasul mengatakan bahwa hati adalah
pangkal dari segala aktifitas badani. Jika baik hatinya, maka baik pula seluruh
aktifitas badannya. Begitu juga sebaliknya jika buruk hatinya, maka buruk juga
segala aktifitas badaniahnya.
Bahkan,
resonansi dari hati yang baik itulah kelembutan akan muncul. Bagaikan buluh
perindu yang akan menghasilkan suara merdu ketika ditiup. Kenapa? Karena hati
yang lembut bagaikan sebuah tabung resonansi yang bagus. Getarannya
menghasilkan frekuensi yang semakin lama semakin tinggi. Semakin lembut hati
seseorang, semakin tinggi frekuensinya. Pada frekuensi 10 pangkat 8, maka akan
menghasilkan gelombang radio. Dan jika frekuensinya lebih tinggi misal 10
pangkat 14, maka akan menghasilkan gelombang cahaya (Mustofa, 2008:153).
Itulah
agaknya yang terjadi pada diri Rasulullah saat ‘dioperasi’ oleh malaikat Jibril
di dekat sumur zam-zam. Jibril melakukan manipulasi terhadap sistem energi
menjadi badan cahaya. Dengan kesiapan ini, Muhammad siap untukdibawa melalui
kawalan Jibril dengan mengendarai Buraq menembus batas langit hingga akhirnya
berjumpa dengan Sang Pemilik Cahaya Abadi.
Catatan ketiga, terdapat dalam kata ‘abdihi, Hamba-Nya. Hal ini berarti bahwa
tidak semua orang secara sembarangan mampu melakukan perjalanan Isra Mi’raj.
Perjalanan fantastis yang hanya bisa dilakukan oleh manusia yang sudah mencapai
tingkatan ‘abdihi, hamba-Nya. Atau dalam istilah Quraish Shihab sebagai insan
kamil.
Catatan keempat, dalam kata laila, malam hari. Perjalanan spesial ini dilakukan
pada malam hari dan bukan siang hari. Kenapa? Inilah dia bukti kebesaran Tuhan
Sang Maha Gagah itu. Ia mengendalikan perjalanana Isra Mi’raj dengan apik dan
sangat canggih. Apalagi alasan logis mengenai hal itu, bahwa pada siang hari
radiasi sinar matahari demikian kuatnya, sehingga bisa membahayakan badan Nabi
Muhammad yang sebenarnya memang bukan badan cahaya. Badan nabi yang
sesungguhnya tentu saja adalah materi. Perubahan menjadi badan cahaya itu
bersifat sementara saja, sesuai kebutuhan untuk melakukan perjalanan bersama
Jibril. Dengan melakukannya pada malam hari, maka Allah telah menghindarkan
Nabi dari interferensi gelombang yang bakal membahayakan badannya. Suasana
malam memberikan kondisi yang baik buat perjalanan itu (Mustofa, 2006:25).
Sebagai
gambaran sederhana, ketika di malam hari kita menyalakan radio, maka gelombang
yang kita tangkap akan jernih dan lebih mudah dari siang hari. Sebab gelombang
radio tersebut tidak mengalami gangguan terlalu besar yang saling bersinggungan
dengan gelombang lainnya. Begitulah gambaran sederhananya, sebab waktu malam
hari adalah waktu yang paling kondusif untuk perjalanan super spesial demi
kelancaran perjalanan ini.
Catatan kelima, terdapat dalam kata minal Masjidil haram ilal masjidil Aqsha,
dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha. Perjalanan ini dimulai dari mesjid ke
mesjid, sebab mesjid adalah bangunan yang memiliki energi positif. Disanalah
orang-orang berusaha untuk menyucikan diri, mendekat, bahkan merapat kepada
Tuhannya. Masing-masing mesjid tersebut ibarat tabung energi positif bagi
perjalanan Nabi.
Masjidil
Haram dan Masjidil Aqsha dijadikan sebagai terminal pemberangkatan dan
kedatangan. Hal ini mirip dengan tabung transmitter dan recieveri, yang
dipergunakan dalam proses perubahan badan Nabi Muhammad dari materi menjadi
cahaya jauh lebih mudah. Apalagi proses itu melalui ‘operasi’ lewat pelantara
Jibril yang memang makhluk cahaya. Maka semuanya berjalan dengan lancar sesuai
kehendak Allah. Dia-lah yang berkehendak, sedang Jibril yang melaksanakannya
(Mustofa, 2006:28).
Catatan
keenam, yakni dalam kata baaraknaa haulahu, Kami berkahi sekelilingnya.
Perjalanan ini adalah perjalanan yang tak lazim. Oleh karena itu Allah
mempersiapkan semua fasilitas dengan keberkahan untuk menjaga kelancaran
perjalanan sekali dalam sepanjang sejarah manusia.
Nah,
disinilah pentingnya Allah menjaga lingkungan sekitar perjalanan Isra Mi’raj
agar tidak terjadi hal-hal yang merusak. Sebab, jika badan Rasul tiba-tiba
berubah menjadi ‘badan materi’ lagi saat melakukan perjalanan berkecepatan
tinggi itu, maka badannya bisa terurai menjadi partikel-partikel kecil sub
atomik, tidak beraturan lagi. Untuk itulah, keberkahan itu selalu ada; di
setiap tempat di setiap keadaan, bahkan tak mengenal tempat, waktu, dan keadaan
sekalipun.
Catatan
ketujuh, terdapat dalam kata linuriyahu min
ayaayaatina, tanda-tanda kebesaran Allah. Ya, tepat sekali Isra Mi’raj adalah
salah satu tanda kebesaran Allah yang Maha Hebat. Dalam perjalanan itu Rasul
menyaksikan pemandangan yang tidak pernah beliau saksikan sebelumnya. Terutama
ketika melintasi dimensi-dimensi langit yang lebih tinggi pada saat Mi’raj ke
langit ke tujuh. Tanda kebesaran dan keagungan Allah ini terhampar di jagat
raya. Dan dengan tanda-tanda itu, seseorang mukmin bisa melakukan ‘dzikir
sekaligus pikir’ sehingga menghasilkan kedekatan diri kepada Allah Azza wa
Jalla.
Dan
kata kunci yang terakhir adalah innahu huwas samii’ul bashir, sesungguhnya Dia
Maha Mengetahui lagi Maha Melihat. Ini adalah proses penegasan informasi
kalimat sebelumnya. Dengan adanya kalimat ini, seakan-akan Alalh ingin
memberikan jaminan kepada kita bahwa apa yang telah Dia ceritakan dalam ayat
ini adalah benar adanya. Kenapa? Karena berita ini datang dari Allah, Tuhan
yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Maka tak perlu ada keraguan tentang
kisah fenomenal ini (Mustofa, 2006:41).
Perjalanan dari
Masjidil Aqsha ke Sidratul Muntaha tentang Miraj diterangkan dalam ayat. QS. 53.13-14, 16.
ô‰s)s9ur çn#uäu‘
»'s!÷“tR
3“t÷zé& ÇÊÌÈ y‰ZÏã Íou‘ô‰Å™ 4‘ygtFZçRùQ$#
ÇÊÍÈ $ydy‰YÏã èp¨Zy_ #“urù'pRùQ$# ÇÊÎÈ øŒÎ)
Óy´øótƒ nou‘ô‰Åb¡9$# $tB
4Óy´øótƒ
ÇÊÏÈ
13. dan Sesungguhnya Muhammad telah melihat
Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain,
14.
(yaitu) di Sidratil Muntaha[1430].
15.
di dekatnya ada syurga tempat tinggal,
16.
(Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang
meliputinya.
[1430]
Sidratul Muntaha adalah tempat yang paling tinggi, di atas langit ke-7, yang
telah dikunjungi Nabi ketika mi'raj.
Sholat adalah
syariat dari masa ke masa, namun antara Nabi yang satu dengan yang lain ada
perbedaan bentuk dan cara. Dan dari hasil Isra Mi'raj itulah, sholat dalam 5
waktu diwajibkan atas kita. Nabi Ibrahim AS dan Ismail AS, telah diperintahkan
untuk melakukan shalat. "Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu
(Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah
sebagian maqam Ibrahim tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim
dan Ismail:"Bersihkanlah rumah-ku untuk orang-orang yang thawaf, yang
i'tikaf, yang ruku', dan yang sujud". (QS. 2:125)
Artibya: dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu
(Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. dan Jadikanlah
sebahagian maqam Ibrahim[89] tempat shalat. dan telah Kami perintahkan kepada
Ibrahim dan Ismail: "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf,
yang i'tikaf, yang ruku' dan yang sujud".
[89] Ialah tempat berdiri Nabi Ibrahim a.s. diwaktu membuat Ka'bah.
Nabi Ibrahim AS berdoa, supaya Allah SWT menjadikan anak-anak
keturunan Ibrahim AS sebagai orang yang selalu melakukan shalat, "Ya
Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan
shalat, ya Tuhan kami, perkenankan do'aku. (QS. 14:40).
Artinya: Ya Tuhanku, Jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang
yang tetap mendirikan shalat, Ya Tuhan Kami, perkenankanlah doaku.
Pada kisah lain, tentang Nabi Zakariya AS, disebutkan
;"Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil Zakariya, sedang ia tengah berdiri
melakukan shalat di mihrab (katanya):"Sesungguhnya Allah menggembirakan
kamu dengan kelahiran (seorang puteramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang
datang) dari Allah, menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang
Nabi termasuk keturunan orang-orang saleh". (QS. 3:39).
Artinya: kemudian Malaikat (Jibril) memanggil Zakariya, sedang ia
tengah berdiri melakukan shalat di mihrab (katanya): "Sesungguhnya Allah
menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang puteramu) Yahya, yang membenarkan
kalimat[193] (yang datang) dari Allah, menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa
nafsu) dan seorang Nabi Termasuk keturunan orang-orang saleh"
[193] Maksudnya: membenarkan kedatangan seorang Nabi yang
diciptakan dengan kalimat kun (jadilah) tanpa bapak Yaitu Nabi Isa a.s.
Kepada Nabi Musa AS, Allah
SWT berfirman "Dan Kami wahyukan kepada Musa dan saudaranya:"Ambillah
olehmu berdua beberapa buah rumah di Mesir untuk tempat tinggal bagi kaummu dan
jadikanlah olehmu rumah-rumahmu itu tempat shalat dan dirikanlah olehmu shalat
serta gembirakanlah orang-orang yang beriman". (QS. 10:87)
87.
dan Kami wahyukan kepada Musa dan saudaranya: "Ambillah olehmu berdua
beberapa buah rumah di Mesir untuk tempat tinggal bagi kaummu dan Jadikanlah
olehmu rumah-rumahmu itu tempat shalat dan dirikanlah olehmu sembahyang serta
gembirakanlah orang-orang yang beriman".
Pada zaman Bani Israel pun, Allah SWT telah memerintahkan Bani
Israel untuk melakukan shalat. Lihat, misalnya, Al-Baqarah ayat 83,
Artinya : dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani
Israil (yaitu): janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah
kepada ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta
ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan
tunaikanlah zakat. kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian
kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling.
Artinya: dan Sesungguhnya Allah telah mengambil Perjanjian (dari)
Bani Israil dan telah Kami angkat diantara mereka 12 orang pemimpin dan Allah
berfirman: "Sesungguhnya aku beserta kamu, Sesungguhnya jika kamu
mendirikan shalat dan menunaikan zakat serta beriman kepada rasul-rasul-Ku dan
kamu bantu mereka dan kamu pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik[406]
Sesungguhnya aku akan menutupi dosa-dosamu. dan Sesungguhnya kamu akan
Kumasukkan ke dalam surga yang mengalir air didalamnya sungai-sungai. Maka
Barangsiapa yang kafir di antaramu sesudah itu, Sesungguhnya ia telah tersesat
dari jalan yang lurus. (QS. 5:12)
[406] Maksudnya Ialah: menafkahkan harta untuk menunaikan kewajiban
dengan hati yang ikhlas.
Dari berbagai
ayat di atas, perlu kita ketahui bahwa ibadah shalat memang sudah ada sejak
dulu. Hanya, tata caranya saja yang [mungkin] berbeda. Suatu hari, dalam kisah
masuk Islamnya sayyidina Ali RA, Ali melihat Nabi SAW shalat bersama Sayyidah
Khadijah RA. Saat itu pertama kali Ali RA tahu adanya agama baru, Islam. Masih
banyak kisah-kisah yang menampakkan Nabi SAW melakukan shalat sebelum Isra' dan
Mi'raj.
Wallohu A’lam bisshowab
No comments:
Post a Comment