Langit Desember Yang Murung
Jam
19.00, satu hari menjelang tahun 2009 berganti, HP berdering mengganggu makan
malam gratis saya di rumah makan “Jepun”, milik N, sahabat saya. Jay, wartawan
Koran Sindo mengkonfimasi kabar mengejutkan. “Bagaimana Gus Dur, aku dengar
beliau wafat”, katanya tegang. Dengan dada berdegup, saya segera menghubungi
A.W. Maryanto, teman yang selalu mendampingi Gus Dur di Rumah Sakit. Jawabannya
tak meyakinkan. Katanya : “Aku baru saja istirahat dan sekarang sedang makan.
Jam 17.00 tadi, 18 orang dokter khusus telah memeriksa kesehatan Bapak dan
beliau sudah baik”. Tetapi saya penasaran. Yenni, putri kedua Gus Dur, saya
kontak. “Bapak meninggal, mbak Yenni di dalam”, suara Innayah, putri bungsunya,
lirih bergetar, tersekat. Dan saya terkulai lemas. Langit 30 Desember 2009
tiba-tiba menjadi muram, murung. Saya segera sms Ibu Shinta, isteri tercinta
Gus Dur : “Ibu, saya sangat menyesal tidak berada di samping bapak, seperti
sebelumnya, mohon maaf”. Ya seperti sebelumnya ketika Gus Dur beberapa kali
berada di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, saya menjenguknya sekaligus
mendo’akan kesembuhannya dengan segera. Dan saya merasa mendapat kehormatan,
ketika beliau meminta saya berdo’a bagi kesehatannya. Dengan tetap berbaring di
tempatnya, di didampingi ibu Nur, isterinya yang setia dan orang-orang yang
hadir, Gus Dur dan mereka mengamininya.
“Kita
harus berangkat ke Jakarta sekarang juga”, kata saya kepada isteri. Sepanjang
jalan dari Cirebon ke Ciganjur, sms dari teman-teman dari segala macam
identitas diri; Kiyai, Santri, Abangan, Pendeta, Romo, Bhiku, penganut
Konghuchu dan Ahmadiyah, terus berhamburan masuk ke HP saya. Mereka menyatakan duka
nestapa teramat dalam dan rasa kehilangan atas kepergian orang yang
dicintainya. Saya tak mengerti mengapa mereka mengirim sms, selain ingin
mengabari saya tentang wafatnya Gus Dur dan mendo’akan bagi orang yang mereka
kagumi dan keluarga yang ditinggalkannya. Saya membalasnya singkat: “Dia yang
selalu membagi kegembiraan, cinta dan harapan pada bangsa, Negara dan mereka
yang tak berdaya, telah kembali kepada kekasihnya, dalam damai abadi”.
Dini
hari yang sejuk, jam 03.00, ketika saya tiba, jalan Warung Sila sampai rumah
duka, karangan bunga berwarna-warni, tanda duka cita, berjejer tak berjarak,
berserak dan bertumpuk, bagi “Presiden ke 4”, bukan “Mantan Presiden”. Saya tak
bisa menghitung jumlahnya. Beberapa jam sebelumnya jalan ini macet total. Ratusan
kendaraan dan pejalan kaki seakan tak bergerak. Stagnan. Semuanya sengaja
datang ke Ciganjur, ke rumah Gus Dur, menyambut kedatangannya dan menyampaikan
ta’ziyah kepada keluarganya. Ketika saya tiba, ribuan orang masih berjaga di
ruang-ruang di sekitar rumah. Masjid al Munawwaroh, tempat Gus Dur mengaji
kitab “al Hikam”, karya Ibnu Athaillah, seorang sufi besar, dan kitab-kitab
yang lain, masih gemuruh dengan bacaan ayat-ayat suci al Qur’an. Saya segera
masuk rumah. Jenazah sudah dibaringkan. Wajah Gus Dur yang tertutup kelambu
putih yang tipis, terlihat jelas, seakan-akan sengaja dibiarkan demikian agar
para pelayat bisa melihatnya. Saya segera mendapat giliran entah untuk yang ke
berapa puluh kali, memimpin shalat janazah, tahlil dan berdo’a.
Di
hadapan tubuh yang masih utuh itu, saya teringat kata-kata dalam sebuah buku
tasawuf : “Ketika jiwa pergi dalam keadaan bersih, tanpa membawa serta
bersamanya hasrat-hasrat rendah duniawi yang menciptakan ketergantungan, yang
selama hidupnya selalu dihindari dan tak pernah dibiarkan menguasi diri;
menjadi diri sendiri dan menempatkan perpisahan jiwa dari badan sebagai tujuan
dan bahan permenungan… maka jiwa itu telah siap untuk memasuki wilayah kasat
mata (alam musyahadah) di mana para bijak-bestari tinggal”.
Ya,
inilah jiwa yang telah matang. Ia yang hatinya telah menjadi hati orang-orang
yang ditinggalkannya, yang dicintainya. Ia yang telah membagi cinta kepada
mereka yang hatinya remuk-redam, tak berdaya dan tanpa gantungan. Ia yang
bicara begitu bebas, tanpa beban, polos, karena tak punya hasrat rendah apapun
dan tak tergantung pada siapapun, kecuali kepada Tuhan. Ia yang tak pernah
peduli dengan gelar-gelar kehormatan yang dianugerahkan dunia kepadanya. Ia
yang pikirannya mampu menjangkau masa depan dan melampaui zaman, tetapi yang
tetap bisa bertahan dengan kokoh menjalani tradisinya. Ia yang tak pernah
gentar untuk melawan setiap tangan tirani dan korup. Ia yang tak mau kompromi
terhadapnya dan tak peduli pada cibiran orang kepadanya.
Begitu
usai, saya masuk ke bagian dalam rumah yang kamar-kamarnya sudah lama saya
hapal. Mencari ibu Shinta. Ibu sudah di dalam kamarnya yang tampak remang,
didampingi tiga putriya, tentu dalam rinai tangis yang mengiris. Saya tak bisa
menemui beliau untuk ta’ziyah, membesarkan hatinya dengan kesabaran dan
ketulusan. Begitu cara berta’ziyah yang saya terima dari persantren. Saya hanya
bertemu Lissa, putri pertamanya dan menyampaikan ta’ziyah itu. Matanya masih
tampak lebam dengan wajah sendu, tak bergairah, meski tetap bisa senyum. Saya
diminta mengantarnya untuk melihat ayahnya, membuka tirai yang menutup
wajahnya, lalu membaca tahlil dan berdoa. Lissa tertunduk dan terisak-isak
lirih. Kami melihat dengan jelas wajah Gus Dur, sungguh, tampak ceria, tenang
dan teduh. “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan tulus dan
diridhai-Nya. Amin”. Ayat suci ini saya baca berulang.
Masih
dalam posisi berdiri sambil menunduk, saya segera teringat kembali syair yang
acapkali ditembangkan Gus Dur :
ولدتك امك يا ابن آدم باكيا والناس حولك يضحكون سرورا
فاجهد لنفسك ان تكون إذا بكوا فى يوم موتك ضاحكا مسرورا
Ketika ibumu melahirkanmu, Wahai anak cucu Adam
Engkau menangis, sedang orang-orang di sekitarmu
Menyambutmu dengan riang
Maka, bekerjalah sungguh-sungguh untukmu sendiri
ketika engkau tak lagi bersama mereka selamanya,
mereka menangis tersedu-sedu
Sedang engkau pulang sendiri sambil tersenyum manis
ولدتك امك يا ابن آدم باكيا والناس حولك يضحكون سرورا
فاجهد لنفسك ان تكون إذا بكوا فى يوم موتك ضاحكا مسرورا
Ketika ibumu melahirkanmu, Wahai anak cucu Adam
Engkau menangis, sedang orang-orang di sekitarmu
Menyambutmu dengan riang
Maka, bekerjalah sungguh-sungguh untukmu sendiri
ketika engkau tak lagi bersama mereka selamanya,
mereka menangis tersedu-sedu
Sedang engkau pulang sendiri sambil tersenyum manis
Seperti
bunyi syair di atas, ribuan orang di seluruh negeri, malam itu, berduka dan
menangis tersedu-sedu. Sebagian histeris. Sementara Gus Dur memang pulang
sendirian dengan riang. Beliau akan segera memasuki gerbang rumah abadi yang
damai. Usai shalat subuh dan ketika matahari beranjak naik, jenazah dibawa dan
diantar dengan kehormatan kenegaraan, menuju Bandara Halim Perdana Kusuma dan terus
ke rumah asal Gus Dur di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Di
sana jenazah akan diistirahkan selama-lamanya di samping ayah; K.H. Wahid
Hasyim dan kakeknya; Hadratusyeikh K.H. Hasyim Asy’ari. Para santri biasa
menyebut Gus Dur, ayah dan kakeknya yang amat dihormati dengan “al Karim Ibn al
Karim Ibn al Karim” (orang yang mulia putra orang yang mulia putra orang yang
mulia). Kaum bangsawan Jawa mungkin menyebutnya : “Gus Dur adalah seorang darah
biru putra seorang darah biru putra seorang darah biru”. Langit biru bening
dilapis awan putih berarak, bergerak pelan-pelan mengantar pesawat yang membawa
jasad Gus Dur.
Di
tempat peristirahatannya yang terakhir itu, sebelum tubuhnya diturunkan ke
bumi, Gus Dur mungkin masih membagi kegembiraan dan pesan kepada para
pengantarnya untuk tidak menangisi kepulangannya, seperti pesan Maulana
Jalaluddin Rumi ini :
Jangan
menangis: “Aduhai kenapa pergi!”
Dalam pemakamanku
Bagiku, inilah bahagia!
Jangan katakan, “Selamat tinggal”
Ketika aku dimasukkan ke liang lahat
Itu adalah tirai rahmat yang abadi! (D911)
Dalam pemakamanku
Bagiku, inilah bahagia!
Jangan katakan, “Selamat tinggal”
Ketika aku dimasukkan ke liang lahat
Itu adalah tirai rahmat yang abadi! (D911)
Bila
datang ke makamku
Untuk mengunjungiku
Jangan datang ke makamku tanpa genderang
Karena pada perjamuan Tuhan,
Orang berduka tidak diberi tempat
Untuk mengunjungiku
Jangan datang ke makamku tanpa genderang
Karena pada perjamuan Tuhan,
Orang berduka tidak diberi tempat
Memperebutkan
makna Gus Dur
Gus
Dur, nama yang akan dikenang rakyat Indonesia berhari-hari, berbulan-bulan dan
bertahun tahun dan untuk rentang waktu yang panjang. Boleh jadi ia akan menjadi
ikon dan legenda dalam sejarah bangsa muslim terbesar di dunia. Beberapa orang
meramal Gus Dur untuk satu atau dua abad kemudian akan berubah menjadi pribadi
yang dimitoskan. Mungkin ini pandangan yang berlebihan bagi manusia yang hidup
hari ini, tetapi masa depan yang panjang adalah kemungkinan-kemungkinan yang
tak terpikirkan. Ketika pikiran-pikirannya ditulis sebagai babad, sejarah
hidupnya didongengkan kepada anak-anak dan pesan-pesannya dipahat di mana-mana,
ia sangat mungkin menjadi sarat makna mitis, menjadi Sang Legenda.
Lihatlah,
hari ketika ia wafat. Puji-pujian dan kekaguman-kekaguman kepadanya mengalir
begitu deras dari berbagai sudut, pojok, pusat lingkaran dan pinggir social
yang tak terjamah oleh tangan kekuasaan. Bunga warna warni menebar dan
berhamburan ke setiap jalan yang dilaluinya dan menumpuk bagai taman bunga, di
atas tanah tempat istirahnya yang terakhir dan abadi. Sangatlah terasa dan
terlihat dengan kasat mata, pujian dan kekaguman yang disampaikan orang ketika
Gus Dur pulang begitu besar, tak terbayangkan dan melampaui kematian orang
besar siapapun di negeri ini. Ribuan orang di berbagai kota dan desa menangis
tersedu-sedu, pada hari ditinggal Gus Dur dan hari-hari sesudahnya. Mereka
berduka sambil komat-kamit memanjatkan do’a ampunan dan rahmat baginya.
Lihatlah, ribuan para peziarah, perempuan dan laki-laki, tua, muda dan
anak-anak, dari berbagai desa dan kota datang ke tempat peristirahatan
terakhirnya di Tebuireng. Latar pesantren dan masjid di sana tak lagi
menampungnya. Sekitar 40 ribu orang hadir di sana. Masjid-masjid di seluruh
pelosok negeri segera menyelenggarakan shalat ghaib, membaca al Qur’an surah
Yasin dan Tahlil. Pahala bacaan-bacaan suci itu dihadiahkan atau dimohonkan
kepada Tuhan untuk beliau. Gereja-gereja mendentangkan loncengnya, untuk
menyelenggarakan ritual dan do’a khusus bagi Gus Dur. Kuil-kuil,
Sinagog-sinagog, Vihara-vihara, Pure-pure, dan tempat-tempat penyembahan yang
lain juga menyelenggarakan ritual dan do’a untuknya. Kata mereka, Gus Dur
adalah orang suci, sang Santo. Ketika kaum Kristiani, umat Budha, umat Hindu
atau jama’at Ahmadiyah atau yang lain ditanya tentang Gus Dur, mereka
mengatakan : “apa yang dikatakan dan dijalani Gus Dur, itulah yang difirmankan
Yesus, diajarkan Moses, dituturkan Sang Budha, disabdakan dalam Baghawad Gita
dan disampaikan Hazrat Mirza. Melalui beliau kata-kata Yesus, Moses (Nabi
Musa), Budha, Gita dan Hazrat Mirza, menjadi hidup kembali”.
Di
latar Tugu Proklamasi, sejuta lilin duka dinyalakan mereka yang mencintai Gus
Dur, meski dalam rinai hujan yang turun rintik-rintik. Mereka yang hadir malam
itu memakai baju keyakinan yang berwarna-warni, bagai pelangi, indah sekali.
Semua menunduk, berdo’a ke Hadirat Yang Maha Esa, tak peduli apa nama dan
sebutan-Nya, untuk beliau; Gus Dur. Orang-orang yang paling rasional dan
mungkin tak pernah taat dalam ritual-ritual agama atau kepercayaan, tiba-tiba
hanyut dalam emosi melankoli tak terkendali, termangu dan menunduk begitu
khusyuk. Logika rasional tiba-tiba membeku dihadapan realitas kematian bapak
bangsa itu.
Lihatlah,
para bikhu (bhiksu) dengan pakaian khas mereka, kuning kunyit tua, bersimpuh di
depan tanah liat tempat Gus Dur dibaringkan dan diistirahatkan, sambil
menggumamkan do’a-do’a. Saya dan mungkin kita, tak pernah menyaksikan
pemandangan indah seperti ini di manapun. Lihatlah, bendera merah putih
berkibar setengah tiang selama tujuh hari, memberi hormat padanya. Para
pemimpin dari berbagai belahan dunia menyampaikan belasungkawa, terima kasih
dan harapan agar cita-cita Gus Dur diteruskan oleh siapa saja. Do’a-do’a,
wirid-wirid dan zikir mereka bergemuruh berhari-hari memenuhi ruang maya,
menembus langit demi langit sampai ujung tanpa batas. Bukan hanya Yusuf Kalla,
mantan wakil Presiden, tapi juga beribu-ribu orang, yang bersaksi : “Sepanjang
sejarah bangsa ini tak ada orang yang kematiannya diantarkan dengan kehormatan
dan do’a oleh beragam identitas orang dan dalam jumlah yang begitu masif,
kecuali beliau”.
Bagaimana
kita bisa memahami fenomena kepulangan Gus Dur seperti itu? Suara apakah
gerangan yang membisikkan dan menggerakkan nurani beribu bahkan berjuta orang
untuk mengantar kepulangannya dan berziarah di pusaranya yang bersahaja itu?.
Siapakah gerangan yang merasuk dan menyentuh relung hati beribu orang termasuk
para Pendeta, Romo, Kardinal, Bhiku-Bhikuni, penganut Kong Hu Cu, Ahmadi,
pengamal dan penghayat kebatinan-kepercayaan dan lain-lain, sehingga mereka
menangisi kepulangan Gus Dur?. Akal manakah yang sanggup menjelaskan fenomena
kepiluan, kerinduan dan mabuk kepayang ini?. Tak ada jawaban rasional. Ia hanya
bisa dijelaskan oleh para bijak-bestari, para sufi. Saya ingin mengutip kata-kata
Tuhan dalam bahasa Nabi Saw :
إن الله اذا احب عبدا دعا جبريل .فقال إنى أحب فلانا فأحبه فيحبه جبريل. ثم ينادى فى السماء فيقول إن الله يحب فلانا فأحبوه فيحبه اهل السماء قال فيوضع له القبول فى الارض. رواه ابو هريرة. أخرجه مالك فى الموطأ, ص 209.
إن الله اذا احب عبدا دعا جبريل .فقال إنى أحب فلانا فأحبه فيحبه جبريل. ثم ينادى فى السماء فيقول إن الله يحب فلانا فأحبوه فيحبه اهل السماء قال فيوضع له القبول فى الارض. رواه ابو هريرة. أخرجه مالك فى الموطأ, ص 209.
“Sungguh,
jika Tuhan mencintai hamba-Nya, Dia memanggil Jibril. Tuhan mengatakan : ”Aku
mencintai fulan, maka cintailah dia. Maka Jibril mencintainya. Jibril memanggil
penghuni langit. Kepada mereka Jibril mengatakan : “Tuhan mencintai fulan, maka
cintailah dia. Lalu para penghuni langit mencintainya. Maka dia dicintai para
penghuni bumi”.
Atau
seperti kata Nabi Muhammad Saw :
طوبى للمخلصين الذين اذا حضروا لم يعرفوا, واذا غابوا لم يفتقدوا أولئك مصابيح الهدى تنجلى بهم كل فتنة ظلماء. رواه البيهقى)
طوبى للمخلصين الذين اذا حضروا لم يعرفوا, واذا غابوا لم يفتقدوا أولئك مصابيح الهدى تنجلى بهم كل فتنة ظلماء. رواه البيهقى)
“Aduhai,
betapa bahagia mereka yang berhati tulus, mereka yang ketika hadir tak dikenal
(tak dimengerti), manakala pergi mereka dicari ke sana kemari, Mereka itulah
obor-obor yang menerangi jalan lurus. Melalui mereka, tampak terang benderang
segala fitnah orang-orang zalim”. (H.R. al Baihaqi).
Atau
seperti kata sang sufi besar Ibnu Athaillah al Sakandari :
تسبق انوار الحكماء أقوالهم فحيث صار التنوير وصل التعبير
تسبق انوار الحكماء أقوالهم فحيث صار التنوير وصل التعبير
Cahaya
orang-orang bijak bestari mendahului perkataannya. Maka ketika batin telah
tercerahkan, kata-kata mereka sampai (ke lubuk hati pendengarnya).
Ya,
gelombang manusia yang tak berhenti bergerak menziarahi dan mendo’akan Gus Dur,
adalah karena Tuhan mencintainya, karena Gus Dur mencintai lebih dulu.
Mencintai Tuhan adalah mencintai semua dan segala ciptaan-Nya. Pikiran-pikiran
dan perjalanan Gus Dur adalah kerinduan-kerinduan kepada Tuhan dan seluruh
ciptaan-Nya. Maka Dialah yang membimbingnya. Maka mereka mencintainya, karena
Gus Dur menumpahkan cintanya kepada mereka lebih dahulu dengan tulus. Maka
getaran-getaran cinta itu menebar dan menembus relung-relung jiwa mereka. Ya
Gus Dur adalah juga cahaya. Ia memancarkan gelombang-gelombang elektrik halus
tetapi dengan getarannya yang begitu kuat, lalu menjalari partikel-partikel ruh
orang-orang yang mendengar atau melihatnya. Gelombang cahaya yang dijalarkan
dari jiwa yang bening akan berpendar, menyeruak dan meresap ke ruang-ruang
gelap, lalu menjadi terang benderang.
Segera
sesudah itu, begitu reflektif dan tanpa diminta, ribuan orang berebut memberi
makna padanya. Gus Dur adalah “Ulama Besar”, “Guru Bangsa”, “Bapak Pluralisme”,
“Bapak Demokrasi”, “Sang Humanis Sejati”, , “Pelindung kaum Minoritas”, Pembela
kaum Tertindas”, “Sang Pembebas”, “Negarawan Paripurna”, “Bapak Bhineka Tunggal
Ika”, “Intelektual Sejati”, “Budayawan Besar”, “Waliyullah”, dan masih sejuta
sebutan lainnya. Aku sendiri ingin menyebutnya “Sang Sufi Besar”. Gus Dur
adalah “Matahari Dhuha” yang cahaya spiritualitasnya menebarkan kehangatan
cinta, kesegaran, kegairahan sekaligus mencerahkan dan menyuburkan bumi
manusia. “Gus Dur bagaikan gunung berapi yang menyimpan magma spiritualitas
begitu dahsyat. Magma itu tak pernah berhenti bergolak dan begitu aktif yang
seringkali meletup-letup, menumpahkan lahar panas, mengaliri tanah
kering-kerontang. Manakala telah dingin, tanah berubah menjadi subur, bumi
menghijau menyembulkan bunga warna-warni, indah dan menebarkan wewangian”.
Sahabat
saya Marzuki Wahid, penulis buku Beyond the Symbols, Jejak Antropoligis
Pemikiran dan Gerakan Gus Dur, dalam sebuah moment refleksi 100 tokoh atas Gus
Dur, di Institute Agama Islam Nur Jati (IAIN), Cirebon, menyampaikan kata
pamungkas yang mendebarkan: “Gus Dur bukanlah “Guru Bangsa”, bukan “Bapak
Pluralisme”, bukan “Ulama”, bukan “Seorang Humanis” bukan “Waliyullah”, bukan
“Negarawan Paripurna”, dan bukan seterusnya. Sampai di sini, hati yang hadir
berdegup-degup, tersekat-sekat. “Ini anak tak tahu diri dan kurang ajar”, kata
hati saya, sambil menahan emosi. “Tetapi Gus Dur adalah semuanya”, katanya
menuntaskan. Dan suasana berubah menjadi mengharu-biru.
Begitulah
setiap orang telah dan akan terus memaknai Gus Dur dengan ungkapan dan cara
yang berbeda-beda, berdasarkan pada apa yang dilihat, didengar, diingat dan
dirasakannya. Pemaknaan atas sesuatu memang selalu lahir dari pengalaman
masing-masing. Eskpresi-ekspresi intelektual dan idiom-idiom psikologis selalu
merupakan produk dari ruang dan waktunya sendiri-sendiri, produk pengalaman
diri pemberi makna. Tak ada seorang pun yang mampu menghadang pengalaman
spiritual setiap orang. Pengalaman adalah kebenaran sejati, meski tak bisa
diraba, tak bisa dianalisis dengan nalar. Ia melampaui kecerdasan nalar.
Pemaknaan yang beragam atas Gus Dur telah cukup menggambarkan betapa di dalam
dirinya sarat dengan makna besar.
Tetapi
saya meyakini Gus Dur tak akan pernah meminta diberi sebutan apapun. Ia akan
mengatakan “aku bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Aku hanyalah hamba Allah”.
Ia tak pernah terganggu oleh sebutan-sebutan duniawi. Lebih dari 10 gelar
kehormatan akademis tertinggi yang diterimanya dari berbagai universitas
prestisius dunia, tak pernah dipakainya dan tak pernah disandangnya, bahkan
bingkai-bingkainya tak dipasang di rumahnya. Ketika saya, suatu hari, memasuki
salah satu kamar di rumahnya, saya melihat, bingkai-bingkai bertuliskan kata
“penghargaan” tersebut, hanya ditata rapi di atas meja. Gus Dur tak seperti
yang lain yang mengejar gelar-gelar kehormatan itu untuk membesarkan dirinya,
bahkan meski dengan membayar berapapun. Gus Dur sudah besar dan terhormat,
meski tak diberi sebutan kebesaran dan kehormatan apapun, termasuk Pahlawan.
Terhadap penyebutan kehormatan di atas, Gus Dur mungkin akan menyanyikan syair
ini :
وكل يدعى وصلا بليلى وليلى لا تقر لهم بذاك
وكل يدعى وصلا بليلى وليلى لا تقر لهم بذاك
Masing-masing
boleh saja mengaku kekasih “Laila”
Tetapi “Laila” tak mengakui semua itu
Tetapi “Laila” tak mengakui semua itu
Gus
Dur bebas dan bersih dari keinginan-keinginan rendah dan kini. Ia tak
menginginkan apapun dan tak iri hati pada siapapun. Ia tak mengharap-harap dan
meminta puja-puji apapun dan dari siapapun. Ia menerima apapun yang terjadi .
Ia ridha atas segala yang dianugerahkan Tuhan kepadanya. Jiwanya tak tergantung
pada apa-apa dan pada siapa-siapa. Gelar-gelar kehormatan tak menjadikannya lebih
besar. Gus Dur hanya akan mengatakan : “Aku sudah bekerja”. “Aku sudah
berjuang”. “Aku sudah “berperang”. “Aku sudah membagi cinta” dan “Aku sudah
memaafkan”. Itu sudah cukup. Selebihnya terserah Tuhan”.
Itu
tentu karena Gus Dur telah membaca al Qur’an dan telah lama merenungkan
maknanya : “Katakan (wahai Muhammad): “Bekerjalah kamu, maka Allah dan
Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan
dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu
diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan”.(Q.S. al
Taubah,[9:105).
Lalu
adakah orang yang memberi makna sebaliknya?. Adakah orang yang membencinya dan
senang atas kematiannya, atau paling tidak orang yang tak ambil peduli atas
kepergiannya?. Seperti kehidupan yang warna-warni, Tuhan juga menciptakan
keanekaragam individu dengan sifat kualitatif yang berbeda-beda. Keragaman ini
akan terus ada sepanjang kehidupan belum selesai, seperti yang sering
disampaikan Gus Dur. Keragaman adalah niscaya kealaman. Saya membaca di dunia
maya beragam komentar sinis terhadapnya. Gus Dur yang sudah selesai menjalani
hidup, tetap saja dicaci-maki dan dicemooh oleh sejumlah orang, seperti ketika
ia masih dan sedang menjalaninya. Sebagian mereka mengatakan bahwa ia tak
pantas dipanggil Gus, karena ini panggilan untuk anak kiyai yang saleh. Lebih
tepat ia disebut “Mr. Dur” atau sebutan lain. Bahkan Mr. Dur, kata mereka, tak
layak disebut-sebut namanya lagi. Ia telah melukai hati umat dan menjual
agamanya. Mereka mengingat apa yang pernah diucapkan dan dilakukan Gus Dur
semasa hidupnya yang begitu banyak mengandung kekafiran kesesatan (bid’ah) dan
kemusyrikan (menyekutukan Tjuhan). Kehadirannya di sejumlah gereja dan rumah
ibadah lain, pendapatnya agar “Assalamu’alaikum” diganti dengan “Selamat pagi”
atau “selamat siang”, persahabatannya dengan Yahudi, Israel, pembelaannya
kepada non muslim adalah bentuk-bentuk kekafiran dan melukai umat Islam. Begitu
juga prakarsanya untuk mencabut TAP MPRS No. XXV/1966 tentang larangan
Komunisme, Leninisme dan Marxisme, serta konsistensinya yang luar biasa untuk
menghargai keberagaman keyakinan manusia (Pluralisme) dan sejuta soal lainnya.
Itu semua, kata mereka, adalah cacat-cacat Gus Dur yang tidak bisa dimaafkan.
Untuk soal Pluralisme, mereka mengangap bahwa ia adalah paham yang sesat dan
menyesatkan bahkan merupakan kemusyrikan (menyekutukan Tuhan). Ini karena
pluralisme, menurut mereka, merupakan pengakuan atas kebenaran semua
agama-agama dan semua keyakinan-keyakinan manusia. Dan ini dosa maha besar yang
tidak akan diampuni.
Di
kutub yang lain lagi, saya melihat ada sejumlah orang yang tak bicara apa-apa
ketika Gus Dur wafat. Mereka diam, tanpa kata-kata, tanpa ekspresi dan
seakan-akan membiarkan Gus Dur pergi. Apakah makna diam mereka? Ah, dia orang
biasa saja!. Peduli amat!. Tak mengerti apa-apa?. Kebencian yang tak bisa
meledak?. Luapan senang atas kematiannya yang tersekat?. O, apakah sesungguhnya
makna diam mereka?. Simbol terperangah?, terkejut-kejut?, terbengong-bengong?
Atau memang karena mereka tak lagi mampu mau bicara apa sesudah menyaksikan
peristiwa maha dahsyat itu?. Diam memang menyimpan sejuta makna yang tak bisa
kita pahami hari ini. Mungkin kita akan menemukan makna diam mereka kelak. Kita
tunggu saja.
Tokoh
Besar Sanggup Melawan Luka
Caci
maki dan sumpah serapah terhadap Gus Dur, tidaklah membuatnya menjadi rendah,
menjadi kecil. Sikap seperti itu justeru semakin menguatkan kebesarannya. Kita
sudah membaca sejarah umat manusia, sejarah orang-orang besar. Orang-orang
besar selalu mengandung dualitas yang paradok: dikagumi dan dicemooh. Ka’ab al
Ahbar, seorang ahli tafsir berbagai kitab suci, bilang :
ما كان رجل حكيم فى قومه قط الا بغوا عليه وحسدوه
ما كان رجل حكيم فى قومه قط الا بغوا عليه وحسدوه
“Tak
ada tokoh bijak-bestari di sebuah komunitas kecuali selalu ada mereka yang
mencaci-maki dan mendengki”.
Jalal
al Din al Suyuthi, ulama besar, seorang einsiklopedis, mengatakan hal yang
sama, tetapi dengan bahasa yang sedikit berbeda:
ما كان كبير فى عصر قط الا كان له عدو من السفلة. إذ الاشراف لم تزل تبتلى بالاطراف فكان لآدم إبليس , وكان لنوح حام وغيره وكان لداود جالوت واضرابه وكان لسليمان صخر وكان لعيسى بختنصر وكان لابراهيم النمرود وكان لموسى فرعون وهكذا الى محمد صلى الله عليه وسلم فكان له ابو جهل.
ما كان كبير فى عصر قط الا كان له عدو من السفلة. إذ الاشراف لم تزل تبتلى بالاطراف فكان لآدم إبليس , وكان لنوح حام وغيره وكان لداود جالوت واضرابه وكان لسليمان صخر وكان لعيسى بختنصر وكان لابراهيم النمرود وكان لموسى فرعون وهكذا الى محمد صلى الله عليه وسلم فكان له ابو جهل.
“Tidak
ada tokoh besar pada setiap zaman kecuali dicacimaki orang-orang bodoh.
Orang-orang terhormat selalu diuji oleh orang-orang pinggiran. Dulu Nabi Adam
dilawan Iblis, Nuh lawan Ham dan lainnya, Daud lawan Jalut dan pasukannya,
Sulaiman lawan Sakhr, Isa lawan Bukhtanshir, Ibrahim lawan Namrud, Musa lawan
Firaun, dan seterusnya sampai Nabi Muhammad saw. Beliau dilawan Abu Jahal”.
Para
tokoh bijak-bestari (Hukama) dalam sejarah mereka, memang, bukan hanya
disumpah-serapah dan dibenci, tetapi juga dikafirkan, dibid’ahkan dan
dizindikkan (dituduh ateis) oleh mereka yang tak matang secara intelektual dan
spiritual, atau oleh mereka yang pikirannya tergantung pada bentuk-bentuk kredo
formal dan teks-teks literal keagamaan atau oleh fanatisme pada kebenaran diri
dan buta pada kebenaran yang lain. Imam al Ghazali, sang sufi besar menyebut
mereka “orang-orang yang memiliki pengetahuan terbatas. Seharusnya keterbatasan
itu hanya bagi dirinya sendiri dan tak boleh dipaksakan kepada yang lain.
Mereka tak mengerti bahwa setiap kata-kata suci mengandung beribu makna”.(Baca:
Ihya Ulum al Din).
Abd
Allah Sahal al Tusturi, sufi agung, bilang :
لو أعطى العبد بكل حرف من القرآن الف فهم لم يبلغ نهاية ما اودعه الله فى اية من كتابه لانه كلام الله وكلامه صفته . وكما ليس لله نهاية فكذلك لا نهاية لفهم كلامه وإنما يفهم كل بمقدار ما يفتح عليه.
الزكشى, البرهان فى علوم القرآن, جزء 1 ص 9
لو أعطى العبد بكل حرف من القرآن الف فهم لم يبلغ نهاية ما اودعه الله فى اية من كتابه لانه كلام الله وكلامه صفته . وكما ليس لله نهاية فكذلك لا نهاية لفهم كلامه وإنما يفهم كل بمقدار ما يفتح عليه.
الزكشى, البرهان فى علوم القرآن, جزء 1 ص 9
“Andai
hamba Tuhan dianugerahi seribu mengerti makna untuk satu huruf al Qur’an, dia
tak bisa menjangkau seluruh tanda kehendak Tuhan yang ditinggalkan dalam
kitab-Nya. Karena ia adalah “Kalam Allah”(firman) yang adalah Sifat-Nya. Oleh
karena Tuhan tak terbatas, maka juga tak ada batas mengerti makna firman-Nya.
Setiap orang hanya bisa mengerti sebatas yang diberikan-Nya”.(Zarkasyi,
al-Burhan fi Ulum al Qur’an, I/9).
Boleh
jadi, mereka yang mengaku benar sendiri sambil menololkan orang lain itu,
melukai dan menyerang, sesungguhnya tak lebih dari orang-orang yang gelisah
atas kondisi ketakberdayaan diri dan ketakutan yang berlebih.
Lihatlah,
tokoh sufi legendaris Abu Manshur al Hallaj. Ia harus berdiri di atas tiang
gantungan untuk mengakhiri hidupnya. Hukuman ini dijatuhkan terhadapnya
menyusul fatwa sejumlah Ulama yang berkolusi atau berselingkuh dengan para
penguasa, konon, demi membela Tuhan. Mereka menilai pandangan al Hallaj tentang
“Wahdah al Wujud”, atau “Hulul” (manunggal) sebagai kesesatan, kekafiran dan
kemusyrikan yang nyata. Dia antara lain pernah bilang begini :
مزجت روحك فى روحى كما
تمزج الخمرة بالماء الزلا ل
فإذا مسك شيئ مسنى
فإذا أنت أنا فى كل حال
مزجت روحك فى روحى كما
تمزج الخمرة بالماء الزلا ل
فإذا مسك شيئ مسنى
فإذا أنت أنا فى كل حال
Roh-Mu
bercampur rohku
Bagai campuran khamr
dan air tawar bening
Bila sesuatu menyentuh-Mu
Ia menyentuhku
Engkau adalah aku
Dalam segala hal
Bagai campuran khamr
dan air tawar bening
Bila sesuatu menyentuh-Mu
Ia menyentuhku
Engkau adalah aku
Dalam segala hal
Teorinya
tentang Kesatuan Wujud pada dasarnya juga meniscayakan pengakuan terhadap
eksistensi agama-agama, kepercayaan-kepercayaan, keyakinan-keyakinan, dan pada
saat yang sama memprovokasi keharusan untuk mentoleransi seluruh agama-agama
yang ada di muka bumi. Al Hallaj kokoh dengan keyakinannya. Tetapi dia
membiarkan yang lain punya pikiran atau keyakinan sendiri yang lain. Dia tidak
punya minat menyerangnya, malah mendo’akan mereka. Sebelum ajal menjemput, di
hadapan ribuan pasang mata yang merah-padam, al Hallaj mengadu kepada Tuhan :
الهى هؤلاء عبادك قد اجتمعوا لقتلى تعصبا لدينك وتقربا اليك, فاغفر لهم فإنك لو كشفت لهم ما كشفت لى لما فعلوا ما فعلوا. ولو سترت عنى ما سترت عنهم لما ابتليت ما ابتليت. فلك الحمد فيما تفعل ولك الحمد فيما تريد.
الهى هؤلاء عبادك قد اجتمعوا لقتلى تعصبا لدينك وتقربا اليك, فاغفر لهم فإنك لو كشفت لهم ما كشفت لى لما فعلوا ما فعلوا. ولو سترت عنى ما سترت عنهم لما ابتليت ما ابتليت. فلك الحمد فيما تفعل ولك الحمد فيما تريد.
“O,
Tuhanku, mereka adalah hamba-hamba-Mu. Mereka telah berkumpul untuk membunuhku,
karena semangat menggebu mereka untuk membela agama-Mu dan ingin dekat
dengan-Mu. Ampunilah mereka. Andai saja Engkau singkapkan kepada mereka seperti
apa yang telah Engkau singkapkan kepadaku, niscaya mereka tidak akan
melakukannya. Andai saja Engkau membutakan mataku, seperti membutakan mata
mereka, niscaya aku tidak akan mengalami cobaan seperti ini. Hanya bagi-Mu lah
segala puji atas apa yang Engkau putuskan, dan hanya bagi-Mu lah segala puji
atas apa yang Engkau kehendaki”.
Ibnu
Arabi, sang Guru terbesar kaum sufi (al Syaikh al Akbar), juga harus menerima
beragam tuduhan : kafir, musyrik, murtad dan sebagainya. Ketika sedang berada
di pondokannya di Mesir, ratusan orang dengan pedang terhunus di tangan,
menyerbunya untuk membunuhnya. Sahabatnya menyelematkan dia. Katanya kepada
mereka yang marah: “Muhyiddin memang sedang “gila”. Kalian mau membunuh “orang
gila?”. Tuduhan dan serbuan terhadapnya itu, gara-gara Ibnu Arabi mengemukakan
pandangan pluralisme keagamaan yang diungkapkan dalam bait-bait puisi menawan.
Ia menuliskannya dalam Diwan (kumpulan puisi) nya yang terkenal : “Tarjuman al
Asywaq” (Senandung Kerinduan). Di situ ia bersenandung lagu rindu:
لقد صار قلبى قابلا كل صورة
فمرعى لغزلان ودير لرهبان
وبيت لاوثا ن وكعبة طا ئف
والواح توراة ومصحف قرآن
ادين بدين الحب اين توجهت
ركائبه فا لحب دينى وايمانى
لقد صار قلبى قابلا كل صورة
فمرعى لغزلان ودير لرهبان
وبيت لاوثا ن وكعبة طا ئف
والواح توراة ومصحف قرآن
ادين بدين الحب اين توجهت
ركائبه فا لحب دينى وايمانى
Jiwaku
telah siap menjemput
Segala fenomena semesta
Padang rumput bagi kawanan rusa
Kuil-kuil para Rahib
Rumah berhala-berhala
Ka’bah orang yang memutarinya
Lempengan-lempengan Taurat
Lembaran-lembaran suci Al Qur’an
O, Akulah penganut setia Cinta
Ke manapun gerobag
pembawa Cinta bergerak
Aku mengejarnya
Aku penganut Cinta-Mu
Segala fenomena semesta
Padang rumput bagi kawanan rusa
Kuil-kuil para Rahib
Rumah berhala-berhala
Ka’bah orang yang memutarinya
Lempengan-lempengan Taurat
Lembaran-lembaran suci Al Qur’an
O, Akulah penganut setia Cinta
Ke manapun gerobag
pembawa Cinta bergerak
Aku mengejarnya
Aku penganut Cinta-Mu
Abu
Yazid al Bisthami diusir dari rumahnya sampai tujuh kali dan disiksa
berkali-kali. Dzunnun al Mishri digiring dan diseret dengan tangan dirantai
dari Mesir menuju Baghdad. Mereka menuduhnya “zindiq” (atheis). Samnun al
Muhib, dilempari tulang belulang kotor kering. Sahl al Tusturi diusir dari
rumahnya, dari tanah airnya ke Basrah. Abu al Qasim al Junaidi, berkali-kali
dituduh kafir. Dia terpaksa tak keluar rumah selama berbulan-bulan dan
bertahun-tahun sampai kematian menjemputnya. Syeikh Abu al Hasan al Syadzili,
pendiri tarekat Syadziliyah, diusir dari Mesir. Dia dituduh atheis. Taj al Din
al Subki, ahli fiqh terkemuka, dikafirkan. Dia ditangkap lalu dengan tangan
diborgol diarak ramai-ramai dari Syam (Siria) ke Mesir. Ibnu Rusyd al Hafid, diusir
dan diasingkan ke Alisan, sebuah kampung dekat Cordoba, yang sempat menjadi
perkampungan kaum Yahudi. Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam al
Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Bukhari, Jalal al Din al Rumi, Syuhrawardi
al Maqtul, Abu Sa’id al Kharraz, Abu Bakar al Syibli, Abu Bakar al Nablusi,
Syeikh Abu Madyan, Izz al Din bin Abd al Salam, dan lain-lain juga mengalami
“mihnah” (inkuisisi) dengan cara yang beragam. Mereka, seperti diketahui banyak
orang, adalah tokoh-tokoh legendaries, para maha guru, sufi besar, para Imam
besar, para Ulama, kaum cendikiawan, para pejuang kemanusiaan.
Dengarlah
puisi ini :
وكفروا وزندقوا وبدعوا إذا دعاهم اللبيب الاورع
Mereka yang terbatas
begitu mudah mengkafirkan,
mensesatkan dan memusyrikkan
bila para bijak bestari mengajak
وكفروا وزندقوا وبدعوا إذا دعاهم اللبيب الاورع
Mereka yang terbatas
begitu mudah mengkafirkan,
mensesatkan dan memusyrikkan
bila para bijak bestari mengajak
Dengarkan
pula puisi elegi sang sufi besar Ali Zainal Abidin ini :
ويا رب جوهر علم لو ابوح به
لقيل لى انت ممن يعبد الوثنا
ولاستباح رجال مسلمون دمى
يرون اقبح ما يأتونه حسنا
Aduhai, betapa banyak mutiara pengetahuan
Andai aku sebarkan
Niscaya aku dibilang: “kau pemuja berhala!”
Niscaya mereka menghalalkan darahku
ويا رب جوهر علم لو ابوح به
لقيل لى انت ممن يعبد الوثنا
ولاستباح رجال مسلمون دمى
يرون اقبح ما يأتونه حسنا
Aduhai, betapa banyak mutiara pengetahuan
Andai aku sebarkan
Niscaya aku dibilang: “kau pemuja berhala!”
Niscaya mereka menghalalkan darahku
Mereka
kira
Kerja buruk mereka
Adalah kebaikan semata
Kerja buruk mereka
Adalah kebaikan semata
Meskipun
para bijak-bestari itu harus mengalami nestapa karena pandangan-pandangan agamanya
yang dinilai sesat oleh keputusan fatwa, atau vonis kekuasaan otoriterian dan
despotik, mereka tetap saja tegar dan siap melawan sakit dan menanggung
kengerian. Nama mereka tetap hidup sepanjang sejarah, sepanjang masa.
Pikiran-pikirannya tak pernah usang dan terus menjadi inspirasi bagi banyak
cendekiawan sesudahnya. Buku-buku dan tulisan-tulisan mereka terus dibaca,
dikaji, dan didiskusikan atau diseminarkan, berabad dan berkurun-kurun. Mereka
adalah hamba-hamba Allah yang masih dikunjungi dan diziarahi, sampai hari ini
dan untuk hari-hari depan yang panjang. Meski telah pergi, mereka tetap memberi
berkah dan kegembiraan kepada orang-orang yang datang menjenguk dan yang
menjaga pusaranya yang penuh bunga. Demi nilai-nilai yang luhur, demi kebenaran
dan kejujuran, demi keadilan dan cinta, mereka melawan tirani dan melawan luka.
Seperti
mereka, begitulah eksistensi Gus Dur. Ia dimaknai secara beragam dan
controversial, baik ketika ia hadir di muka bumi maupun sesudah ia menghilang
untuk pulang dan tak kembali lagi. Ia dikagumi, dicintai dan dihormati oleh
begitu banyak manusia dan mereka memperoleh inspirasi dari gagasan-gagasannya.
Dalam bahasa santri ; “Mereka memperoleh “barokah” Gus Dur”. Tetapi dalam waku
yang sama juga disingkirkan, dikafirkan dan dimusyrikkan oleh orang-orang yang
tak mengerti. Rumahnya pernah diteror orang tak dikenal. Alhamdulillah, Gus Dur
selamat. “Al Insan A’daa-u ma Jahilu” (manusia memusuhi apa yang tak
diketahuinya), kata pepatah bijak.
Pluralisme
Gus Dur, Gagasan Para Sufi
Gus Dur adalah Bapak Pluralisme, terserah jika ada orang yang tidak suka dengan sebutan ini, termasuk para pecintanya sendiri. Konon, Djohan Efendi, sahabat setia Gus Dur, pernah diminta Gus Dur agar jika ia kelak wafat, nisannya ditulis “Di Sini dikubur Sang Pluralis”. Terlepas pesan itu benar diucapkan Gus Dur atau tidak, dan tak peduli masyarakat memperdebatkan maknanya, tetapi beliau orang yang selalu ingin memandang manusia, siapapun dia dan di manapun dia berada, sebagai manusia yang adalah ciptaan Tuhan. Sebagaimana Tuhan menghormatinya, Gus Dur juga ingin menghormatinya. Sebagaimana Tuhan mengasihi makhluk-Nya, Gus Dur juga ingin mengasihinya. “Takhallqu bi Akhlaq Allah” (berakhlaklah dengan akhlak Allah), kata pepatah sufi. Sejauh yang saya tahu, Gus Dur tak banyak bicara soal wacana Pluralisme berikut dalil-dalil teologisnya. Tetapi ia mengamalkan, mempraktikkan dan memberi mereka contoh atasnya. Pluralisme jauh lebih banyak dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari Gus Dur dibanding diwacanakan. Kalaupun ia diminta dalil agama, ia akan menyampaikan ayat al Qur’an ini : “Wahai manusia, Aku ciptakan kalian terdiri dari laki-laki dan perempuan. Dan Aku jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya manusia yang paling mulia di antara kalian di mata-Ku, ialah orang yang paling bertaqwa kepada-Ku”.
Gus Dur adalah Bapak Pluralisme, terserah jika ada orang yang tidak suka dengan sebutan ini, termasuk para pecintanya sendiri. Konon, Djohan Efendi, sahabat setia Gus Dur, pernah diminta Gus Dur agar jika ia kelak wafat, nisannya ditulis “Di Sini dikubur Sang Pluralis”. Terlepas pesan itu benar diucapkan Gus Dur atau tidak, dan tak peduli masyarakat memperdebatkan maknanya, tetapi beliau orang yang selalu ingin memandang manusia, siapapun dia dan di manapun dia berada, sebagai manusia yang adalah ciptaan Tuhan. Sebagaimana Tuhan menghormatinya, Gus Dur juga ingin menghormatinya. Sebagaimana Tuhan mengasihi makhluk-Nya, Gus Dur juga ingin mengasihinya. “Takhallqu bi Akhlaq Allah” (berakhlaklah dengan akhlak Allah), kata pepatah sufi. Sejauh yang saya tahu, Gus Dur tak banyak bicara soal wacana Pluralisme berikut dalil-dalil teologisnya. Tetapi ia mengamalkan, mempraktikkan dan memberi mereka contoh atasnya. Pluralisme jauh lebih banyak dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari Gus Dur dibanding diwacanakan. Kalaupun ia diminta dalil agama, ia akan menyampaikan ayat al Qur’an ini : “Wahai manusia, Aku ciptakan kalian terdiri dari laki-laki dan perempuan. Dan Aku jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya manusia yang paling mulia di antara kalian di mata-Ku, ialah orang yang paling bertaqwa kepada-Ku”.
“Li
Ta’arafu” (saling mengenal), tidak sekedar tahu nama, alamat rumah, nomor
handphone, atau tahu wajah dan tubuh yang lain. Saling mengenal adalah memahami
kebiasaan, tradisi, adat-istiadat, pikiran, hasrat yang lain, yang berbeda,
yang tak sama. Lebih dari segalanya “li ta’arafu” berarti agar kalian saling
menjadi arif bagi yang lain.
Yang paling mulia di hadapan Tuhan adalah yang paling taqwa, bukan yang paling gagah atau cantik, bukan yang paling kaya atau rumah megah. Taqwa bukan sekedar sering datang ke masjid atau ke majlis ta’lim, membaca kitab suci, memutar-mutar tasbih, bangun malam, atau puasa saban hari. Tetapi lebih dari itu taqwa adalah mengendalikan amarah, hasrat-hasrat rendah, menjaga hati, tidak melukai, tidak mengancam, ramah, sabar, rendah hati dan sejuta makna kebaikan kepada yang lain dan kepada alam.
Yang paling mulia di hadapan Tuhan adalah yang paling taqwa, bukan yang paling gagah atau cantik, bukan yang paling kaya atau rumah megah. Taqwa bukan sekedar sering datang ke masjid atau ke majlis ta’lim, membaca kitab suci, memutar-mutar tasbih, bangun malam, atau puasa saban hari. Tetapi lebih dari itu taqwa adalah mengendalikan amarah, hasrat-hasrat rendah, menjaga hati, tidak melukai, tidak mengancam, ramah, sabar, rendah hati dan sejuta makna kebaikan kepada yang lain dan kepada alam.
Semua
itulah makna taqwa yang dipahami Gus Dur. Maka Gus Dur bukan sekedar menghargai
atau menghormati manusia yang berbuat baik, melainkan juga menyambutnya dengan
rendah hati dan rengkuhan yang hangat. Sebaliknya, ia akan menentang siapa saja
yang merendahkan martabat manusia, apalagi menyakiti, mengurangi dan
menghalangi hak-hak mereka. Ia akan membela mereka yang martabat kemanusiaannya
direndahkan, mereka yang hak-haknya dikurangi, dipasung, disakiti dan
ditelantarkan. Ketika para pengikut Ahmadiah diusir dan masjid-masjid mereka
dirobohkan, Gus Dur hadir bersama mereka. Ketika Gereja-gereja dilempari batu,
ia berteriak “jangan”. Ketika Inul Daratisna dihujat ramai-ramai karena dia
bergoyang-goyang dan meliuk-liukkan tubuhnya bagai bor, ia “memeluk”nya dengan
hangat. Ketika Dorce disoraki karena berganti kelamin, ia mengajaknya bicara
dengan lembut dan penuh kasih. “Jika itu adalah dirimu, teruslah bekerja”,
katanya. Ketika urusan gambar tubuh polos perempuan (pornografi) hendak
diserahkan kepada Negara, ia berdemonstrasi bersama isteri tercintanya; Shinta
Nuriah dan bersama-sama mereka yang menghargai kemanusiaan. Ketika orang-orang
Thionghoa meminta hari raya Imlek dan Barongsae, ia memberikannya dengan tulus.
Meski tak bisa melihat dengan matanya, ia hadir menyaksikan tarian-tarian singa
itu dan bertepuk tangan. Gus Dur senang.
Seringkali
kita melihat sikap perlawanan dan pembelaan itu dilakukannya sendirian. Ia
berjalan sendiri, meski ia harus mempertaruhkan jiwanya. Ia tak peduli. Dalam
perlawanannya terhadap pembredelan tabloid Monitor dan pembelaannya terhadap
Salman Rusydi dalam kasus bukunya Satanic Verses, yang bikin heboh itu,
misalnya, Gus Dur tak menemukan mata lain yang penuh pengertian. Ia berjalan
sendiri. Seorang sufi mengatakan “ia yang jiwanya telah mencapai kesadaran yang
matang, bantuan eksternal tak lagi diperlukan”. Dan Gus Dur sanggup
menjalaninya seorang diri dengan tegar, karena ia telah matang. “La Yakhaf
Laumata Laa-im” (ia tak pernah takut pada mata yang membenci). Kata Gus Dur;
“Di tempatkan di urutan manapun, Muhammad bin Abdullah tetap saja sang penghulu
para nabi dan utusan Tuhan, Insan Kamil”.
Bagi
Gus Dur semua manusia adalah sama, tak peduli dari mana asal usulnya, apa jenis
kelamin mereka, warna kulit mereka, suku mereka, ras dan kebangsaan mereka.
Yang Gus Dur lihat adalah bahwa mereka manusia seperti dirinya dan yang lain.
Yang ia lihat adalah niat baik dan perbuatannya, seperti kata Nabi ; “Tuhan
tidak melihat tubuh dan wajahmu, melainkan amal dan hatimu”. Gus Dur bukan
tidak paham bahwa ada yang keliru, ada yang tidak ia setujui atau ada yang
salah dari mereka yang dibelanya. Gus tetap saja nembela mereka. Ia membela
karena tubuh mereka diserang dan dilukai hanya karena baju agamanya yang
berwarna lain, harta mereka dirampas semaunya, ekspresi-ekspresi diri mereka
dihentikan secara paksa oleh negara atau direnggut dengan pedang oleh otoritas
dominan dan kehormatan mereka diinjak-injak. Padahal mereka tak melakukan
apa-apa. Membela kehormatan adalah perjuangan besar. Bagi Gus Dur,
ekspresi-ekspresi diri, personal, individual, yang dianggap sebagian orang
sebagai tak bermoral, tak boleh melibatkan Negara, tak boleh diintervensi
kekuasaan, tetapi harus diselesaikan sendiri oleh masyarakat dengan cara-cara
yang mereka miliki dan dengan mengaji yang sungguh-sungguh, sampai khatam dan
dengan ketulusan.
Bagi
Gus Dur, keyakinan dan pikiran tak bisa dinamai tak bisa diberi tanda. Pikiran
adalah misteri yang tersembunyi. Ia bagaikan burung yang terbang di langit
lepas. Tuhanlah yang menganugerahkan pikiran-pikiran pada hamba-hamba-Nya.
Dialah Pemilik nafas setiap yang hidup dan Dialah yang akan menanyainya kelak,
bila tiba masanya. Karena itu, hanya Dialah yang berhak menamainya dan
menghakiminya, tidak yang lain. Kata Rumi dalam Fihi Ma Fihi :
ليس فى وسعك إبعاد تلك الفكر عنك بمأئة الف جهد وسعى
ليس فى وسعك إبعاد تلك الفكر عنك بمأئة الف جهد وسعى
“Tak
ada kemampuanmu menjauhkan pikiran-pikiran itu meski dengan seratus ribu kali
rekayasa berkeringat”.
Itulah
sikap seorang yang telah memiliki batin yang bebas. Itulah sifat seorang sufi,
seorang bijak-bestari yang jiwanya mampu menembus kedalaman makna kata-kata
Tuhan. Kata-kata-Nya memiliki dan menyimpan berjuta makna dan tak terbatas.
Pemaksaan atas pikiran dan keyakinan orang tak akan menghasilkan apa-apa,
sia-sia, kecuali membuat orang dan keluarganya menjadi sakit, menderita, dan
menghambat kemajuan orang dan peradaban manusia. Tak ada cara lain untuk
menundukkan orang lain kecuali melalui bicara manis, tanpa marah-marah dan
dengan otak yang cerdas. Jika tak tunduk, biarkan masing-masing berjalan
sendiri-sendiri, sambil katakan saja : “anda adalah anda dan aku adalah aku.
Wassalam”.
Tindakan
dan sikap itu, menurut Gus Dur, sesungguhnya telah diajarkan oleh Islam dan
para Nabi-nabi sejak ribuan tahun lalu. Ia sering mengutip sumber literature
Islam klasik yang bicara mengenai hak-hak individu. Salah satunya adalah Al
Mustashfa, karya Imam Abu Hamid al Ghazali. Sufi besar ini mengatakan bahwa
tujuan aturan agama adalah memberikan jaminan keselamatan keyakinan orang,
keselamatan fisik, keselamatan profesi, kehormatan tubuh dan pemilikan harta.
Al Ghazali menyebut lima prinsip dasar perlindungan ini sebagai “al Kulliyyat
al Khams”. Orang sering menyebutnya “Maqashid al Syari’ah” (tujuan-tujuan
pengaturan kehidupan). Lima prinsip ini merupakan pemberian Tuhan pada setiap
manusia yang tak ada seorang manusiapun berhak mengurangi atau menghilangkannya.
Inilah basis fundamental (al rukn al asasi) pikiran-pikiran dan langkah-langkah
Gus Dur. Meskipun Gus Dur membaca dan mengerti, tetapi ia tidak mengutip
pandangan atau sumber dari Barat atau Yahudi, seperti dituduhkan sebagian
orang. Ia menggalinya dari sumber tradisi Islam sendiri, dan ia mampu
menginterpretasikan dengan cara-cara yang memukau dan genuine, sejalan dengan
konteks kehidupan yang selalu bergerak. Ia memang sangat kaya dengan referensi
tradisi Islam klasik ini berikut perangkat analisisnya : bahasa, sastra,
logika, filsafat sosial, dan metode-metode keilmuan.
Melalui
penjagaan atas lima prinsip dasar kemanusiaan universal tersebut, Gus Dur
memimpikan berkembang dan tersebarnya persaudaraan manusia atas dasar
kemanusiaan (ukhuwwah Insaniyyah), tanpa dibatasi sekat-sekat primordial. Ini
menurut saya sesungguhnya merupakan gagasan para sufi besar. Para sufi yang
sejumlah namanya disebutkan di atas, adalah orang-orang yang paling vocal
menyuarakan gagasan pluralisme dan persaudaraan universal itu. Tak ada keraguan
sedikitpun di hati mereka pada prinsip utama agama bahwa tidak ada di alam
semesta ini kecuali Tuhan Yang Satu yang kehadapan-Nya seluruh yang mawjud
tunduk. Dan seluruh yang mawjud (ada) sejak ia ada sampai keberadaannya tercabut,
selalu dan terus mencari-cari Dia melalui jalan dan bahasa yang berbeda-beda.
عباراتنا شتى وحسنك واحد وكل الى ذاك الجمال يشير
عباراتنا شتى وحسنك واحد وكل الى ذاك الجمال يشير
Bahasa
kita begitu beragam
tetapi Engkaulah Satu-satunya yang Indah
Dan kita masing-masing menuju
kepada Keindahan Yang Satu itu
tetapi Engkaulah Satu-satunya yang Indah
Dan kita masing-masing menuju
kepada Keindahan Yang Satu itu
Maka
kebhinekaan realitas alam semesta ini seharusnya tidak menghalangi setiap
manusia untuk memahami pikiran, bahasa dan kehendak-kehendak manusia yang
lainnya. Para sufi memandang alam semesta yang beragam dan yang seluruhnya
mengandung keindahan sebagai “tajalli” Tuhan, perwujudan rahmat dan
keagungan-Nya di alam semesta. Keberanekaan berasal dari Tuhan. Dialah Sang
Penciptanya. Ibnu Athaillah, nama sufi besar yang dikagumi Gus Dur, banyak
bicara soal Kesatuan Semesta, meneruskan gagasan Ibnu Arabi. Ibnu Ajibah
mengomentari gagasan itu dalam syairnya yang indah:
أنظر جمالى شاهدا فى كل إنسان
الماء يجرى نافدا فى أس الاغصان
تجده ماء واحدا والزهر ألوان
أنظر جمالى شاهدا فى كل إنسان
الماء يجرى نافدا فى أس الاغصان
تجده ماء واحدا والزهر ألوان
Lihatlah
Keindahan-Ku
Tampak pada semua manusia
Tampak pada semua manusia
Air
mengalir,
menembus
pokok dahan dan ranting
menembus
pokok dahan dan ranting
Engkau
mendapatinya
Berasal dari satu mata air
Padahal bunga berwarna-warni
Berasal dari satu mata air
Padahal bunga berwarna-warni
Nah,
lagi-lagi di sini kita menemukan jalan yang ditempuh Gus Dur. Gagasan-gagasan
dan tindakan-tindakan pluralismenya ternyata berangkat dari tradisinya sendiri.
Ia tekun mengaji kitab-kitab klasik raksasa dan primer sampai khatam. Sayang,
kitab-kitab ini amat jarang dibaca orang atau dibaca tetapi hanya sampai kulit
luar, yang tertulis, yang literal, harfiyah, dan tak khatam, tak selesai.
Sang
Zahid di Rumahnya
Sampai
detik ini, dua belas tahun sudah saya mondar-mandir, datang dan pergi ke rumah
Gus Dur, di Ciganjur-Jalan Paso-Ciganjur. Kedatangan saya ke sana tak pasti.
Kadang sebulan sekali, kadang dua bulan dan kadang tak bisa dihitung dengan
hari. Di rumah itu saya mengaji kitab kuning, bercanda-canda, tertawa riang dan
tergelak-gelak, berdebat panjang, mendengar dongeng-dongeng, anekdot-anekdot
dan cerita-cerita epos, dengan Ibu Shinta, putri-putrinya, sahabat-sahabat dan
orang-orang yang ada di rumah itu. Ketika belum ada kamar tamu, saya tidur di
dalam rumah di kamar atas atau di kantor, untuk satu atau dua malam. Hari-hari
yang menyenangkan dan selalu merindukan. Tetapi saya jarang bertemu Gus Dur,
hanya beberapa kali saja, karena beliau memang jarang tinggal lama-lama di
rumah, meski selalu pulang untuk istirahat dua atau tiga jam, paling lama empat
jam. Gus Dur sering datang dini hari, tanpa jam yang pasti. Kadang jam 24.00,
jam 01 atau jam 02.00, tetapi beliau selalu bangun jam 04.00, sebelum subuh.
Saya tak tahu pasti apa yang dilakukannya setelah bangun. Setiap saya keluar
kamar dan turun, Gus Dur sudah tidak ada lagi di rumah itu. Entah ke mana,
tetapi suara bacaan al Qur’an itu dibiarkan melantun-lantun merdu memenuhi
ruang dalam rumah itu sampai cahaya matahari pagi menembus jendela kamar.
Begitu indah, begitu sejuk. Gus Dur yang meminta kaset itu diputar saban pagi.
Memperdengarkan alunan ayat-ayat suci al Qur’an di rumah itu berlangsung setiap
pagi. Gus Dur memang senang mendengar bacaan al Qur’an. Bukan hanya melalui
kaset yang diputar setiap pagi, tetapi juga mengundang para penghafal al
Qur’an. Hampir setiap bulan beliau mengundang mahasiwa-mahasiswi dari Perguruan
Tinggi Ilmu al Qur’an dan Institut Ilmu al Qur’an untuk “sema’an”.
Sering,
ketika tamu sudah pulang dan malam telah sepi, Gus Dur tak langsung masuk kamar
untuk tidur, istirahat. Beliau lebih suka tidur di ruang depan. Jika pun sudah
di dalam kamar ia acap keluar kamar sendirian, sambil meraba-raba, mencari
kursi. Ia duduk-duduk atau mengambil tempat dilantai dan merebahkan tubuhnya
begitu saja atau melingkar sambil memeluk bantal. Ia tak pernah memilih tempat.
Tampaknya, bagi Gus Dur, tempat di mana-mana sama saja, sebab tubuh sangat
tergantung pada jiwa. Tubuh mengikuti jiwa, bukan sebaliknya. “Kenikmatan tubuh
sering melalaikan Tuhan”, kata para sufi. Dengan begitu Gus Dur juga
seakan-akan tak lagi memikirkan dirinya sendiri. Yang ada dalam pikiran dan
jiwanya adalah manusia.
Sering
saya melihat, Gus Dur di rumah hanya mengenakan kaos dan celana sebatas bawah
lutut, dari bahan yang tak tampak berkualitas, persis seperti ketika beliau di
depan istana, sambil melambai-lambaikan tangan kepada umatnya menjelang
dilengserkan. Saya tak pernah melihat Gus Dur memakai sarung, seperti kiyai
pada umumnya. Padahal saya dulu, menganggap sarung, pakaian Islam. Tak sah
rasanya jika shalat tidak pake sarung. Ia memang tak memikirkan atau tak lagi
terpikikan soal bahan apa, warna apa dan bikinan siapa untuk pakaiannya. Ia
menerima saja apa yang diberikan kepadanya. Tetapi tentu saja, ibu atau
anak-anaknya memperhatikan apa yang pantas bagi suami atau bapaknya.
Kiyai
A.Wahid Maryanto, santri Gus Dur ketika di Pesantren Tebuireng, bercerita
kepada saya bahwa Gus Dur sering tak betah sendirian di rumah, baik ketika
malam maupun ketika siang. Ia sering mencari-cari teman untuk sekedar menjadi
tempat menyalurkan hasrat-hasratnya; bicara ngalor ngidul tentang politik,
partai, negara, dunia, bangsa, tentang NU dan umat, atau bercerita yang
ringan-ringan dan tak ketinggalan joke-joke menyegarkan sambil memijat-mijat
tubuhnya yang kelelahan. Maryanto bilang, dia sendiri, terutama malam hari,
jika ada di sana, sering dipanggil “bapak” untuk keperluan yang sama. Bila
“bapak” telah tidur, dia pamit.
Jika
Gus Dur tak bisa tidur nyenyak dan berlama-lama, saya paham. Bagi tubuh yang
menyimpan magma spiritual yang bergolak, kesendirian kadang menyiksa. Ia selalu
ingin menumpahkannya lalu mengaliri siapa saja yang ditemuinya. Dan ia selalu
ingin menemui orang di mana saja untuk bicara apa saja atau sekedar untuk
bercanda atau menumpahkan humor-humor segar-cerdas yang baru saja melintas
dalam pikirannya. Ibu Shinta bercerita kepada saya, “Sering pada malam-malam
yang telah sepi, Gus Dur, meminta, setengah memaksa untuk pergi ke suatu tempat
yang jauh, di Jawa Timur. Ketika disampaikan “mas, ini sudah malam dan tak ada
pesawat, beliau baru berhenti meminta, meski tampak beliau kecewa”.
Saya
sering makan di rumah itu, pagi, siang atau malam, baik usai mengaji atau
tidak. Apabila sarapan pagi atau makan siang, ibu Shinta hanya menemani saja,
tak pernah ikut makan bersama, karena beliau puasa tiap hari dan itu
dilakoninya selama bertahun-tahun. Lauk-pauknya tak ada yang istimewa. Begitu
sederhana; tempe, tahu, sambal, lalap, sayur bening atau lodeh, atau rawon atau
soto Lamongan, rujak cingur, pecel,telor, daging kering dan kerupuk. Cuci
mulutnya pisang, jeruk, es cendol, atau es campur. Begitulah isi meja makan di
rumah itu, begitu bersahaja, tak ada kemewahan atau berlebih-lebihan. Saya tak
bisa membandingkan dengan menu makanan para pembesar yang lain di rumah mereka,
di Menteng atau di Cikeas, karena tak pernah makan di sana, karena orang kecil
tak boleh masuk.
Ada
satu malam yang tak akan pernah saya lupakan. Itu adalah ketika saya diajak
makan malam bersama Gus Dur dan keluarganya di rumah itu. Saya amat senang
karena beliau ada di rumah dan berkumpul bersama keluarganya. Di meja makan itu
saya adalah satu-satunya orang asing. Menu makanan yang dihidangkan tetap saja
tak terlalu istimewa, seperti yang sudah disebut di atas. Gus Dur tak
memilih-milih lauk apa yang diberikan kepadanya. Beliau menerima saja,
mengunyahnya dan menikmatinya. Tak ada makanan yang tak disukainya. Usai makan
yang penuh berkah itu, dengan tetap berada di depan meja, Gus Dur mulai melemparkan
cerita-cerita unik dan humor-humor baru yang membuat semuanya tergelak-gelak.
Lemparan humor Gus Dur disambut dengan humor-humor dari yang lainnya, kecuali
saya, dengan humor-humor yang tak kalah lucu dan sanggup meledakkan tawa yang
tak habis-habis. Dan perut saya tiba-tiba tak lagi penuh.
Jika
Gus Dur tak pergi ke mana-mana, atau memang ada jadwal mengaji kitab kuning di
masjidnya, beliau mengaji dan memberikan kuliah kepada para santrinya. Gus Dur
biasanya menentukan hari Sabtu untuk mengaji kitab kuning. Banyak kitab yang
sudah dibaca Gus Dur, di hadapan para santrinya, terutama kitab-kitab sastra
klasik, kitab-kitab Tasawuf dan Ushul Fiqh atau al Qawa’id al Fiqhiyyah.
Menurut Kiyai Maryanto, yang biasa mendampingi atau membacakan kitab, Gus Dur sudah
mengaji kitab Al Mu’allaqat al Sab’, kumpulan puisi Imri al Qais, raja penyair
Arab pra Islam. Secara literal “al Mu’allaqat al Sab’”adalah tujuh puisi yang
digantung di dinding ka’bah. Bila sebuah puisi sudah digantung di situ, maka ia
adalah yang terseleksi dari sekian banyak puisi. Gus Dur juga membaca Diwan Al
Buhturi, Maqamat al Hariri dan Diwan al Mutanabbi. Semuanya adalah kitab sastra
Arab klasik. Yang lain adalah Al Asybah wa al Nazhair, sebuah kitab tentang
kaedah-kaedah hukum (fiqh). Di tengah-tengah mengaji kitab-kitab tersebut
beliau juga menyinggung dan bercerita tentang kitab lainnya. Misalnya Al Insan
al Kamil (Manusia Paripurna), buku Tasawuf yang amat terkenal, karya sufi besar
Abd al Karim al Jilli dan Nuzhah Alibba fi Thabaqat al Udaba (Taman Para
Cendikia; Biofrafi Para Sastrawan). Buku yang terakhir ini, menurut cerita Gus
Dur, ada di lemari kakeknya; hadratussyeikh K.H. Hasyim Asy’ari. Ia membacanya
ketika masih sangat muda. Tetapi dari banyak sekali kitab klasik tersebut, Gus
Dur tampaknya sangat terkesan pada kitab al Hikam (Kearifan-kearifan), karya
Ibnu Athailla al Sakandari. Kitab ini sangat dikenal luas di kalangan ulama
Pesantren dan selalu diajarkan di sana. Gus Dur sering mengulang-ulang
kata-kata yang amat indah dari sufi besar itu :
إدفن وجودك فى ارض الخمول
فما نبت ممالم يدفن لا يتم نتاجه
إدفن وجودك فى ارض الخمول
فما نبت ممالم يدفن لا يتم نتاجه
Sembunyikan
wujudmu
pada tanah yang tak dikenal
Sebab sesuatu yang tumbuh
dari biji yang tak ditanam
tak berbuah sempurna
pada tanah yang tak dikenal
Sebab sesuatu yang tumbuh
dari biji yang tak ditanam
tak berbuah sempurna
Zaki
Mubarak, sarjana Tasawuf terkemuka dari Mesir, mengatakan : “Syair Idfin itu
amat memukau, begitu indah. Aku tak pernah menemukan yang sepertinya di tempat
lain. Di dalamnya tersimpan gejolak yang amat kuat. Sang penulis, agaknya,
menemukan maknanya ketika ia melakukan permenungan dalam sunyi, bening dan
dalam situasi ekstasi, lalu merasuki jiwanya, maka ia menjadi kata-kata yang
abadi, sepanjang zaman”. Puisi tersebut bicara soal perlunya menjauhkan hasrat
dan ambisi akan popularitas, kemasyhuran diri. “Simpanlah hasratmu akan
popularitas, karena hasrat demikian tak akan membuat dirimu tumbuh dan
berkembang sempurna”. Hasrat akan kemasyhuran akan menyibukkan diri pada
urusan-urusan yang tak berguna dan mengabaikan kerja-kerja yang bermanfaat.
Cinta pada kemasyhuran mendorong orang untuk mengurusi dirinya sendiri dan tak
peduli pada orang lain. Makna lain dari ini adalah perlunya ketulusan dan
keikhlasan. “Sepilah ing pamrih, ramelah ing gawe”.
Puisi
lain yang juga sering disampaikan Gus Dur yang dihafalnya dari kitab di atas
adalah :
لا تصحب من لا ينهضك حاله
ولا يدلك على الله مقاله
لا تصحب من لا ينهضك حاله
ولا يدلك على الله مقاله
Tak
usah temani orang-orang
yang tak membangkitkan tingkah-lakumu
Dan yang kata-katanya
tak membimbingmu
kepada Tuhan
yang tak membangkitkan tingkah-lakumu
Dan yang kata-katanya
tak membimbingmu
kepada Tuhan
Menurut
Gus Dur, pada suatu hari, syair inilah yang mengilhami para ulama pada 1926
untuk memberi nama organisasinya menjadi “Nahdlatul Ulama”, atau Kebangkitan
Ulama. Kini ia menjadi organisasi keagamaan terbesar di dunia, dengan
berjuta-juta pengikut setia yang terus bertambah. Gus Dur telah ikut
membesarkan dan membuatnya dikenal luas di Barat maupun di Timur. Ia juga telah
membangkitkan pikiran para santrinya, sehingga menjadi cerdas dan sumringah.
Tak
ada kekuatan apapun di bumi.
Yang mampu menundukkan bangsa.
Jika saja mereka bangkit
Yang mampu menundukkan bangsa.
Jika saja mereka bangkit
Setiap
mendengar Gus Dur membaca kalimat-kalimat puitis di atas, saya tak tahan untuk
menangis sendiri. “Pesan-pesan itulah rupanya yang menuntun dan membimbing Gus
Dur sepanjang hidupnya”. Beliau selalu menyimpan hasrat-hasrat kemasyhuran diri
dan lebih banyak bekerja daripada bicara. Beliau bicara jika memang harus
bicara. Meskipun gemar humor, tetapi humor-humornya memberi makna yang berguna
bagi orang. Gus Dur selalu ingin dan memang sering menemui orang-orang yang
direndahkan dan disisihkan hanya karena mereka miskin, papa tak penting dan tak
berharga. Tetapi tidak bagi beliau. Merekalah yang telah memberi makna,
menginspirasi dan membangkitkan dirinya. Ia tahu persis, kemiskinan menjadi
sumber paling potensial yang menghancurkan moral orang, seperti juga kerakusan.
Gus Dur juga ingin mereka bangkit dan maju. Betapa banyak sudah anak-anak muda
miskin dan tak bergairah tiba-tiba menjadi berkecukupan dan maju berkat uluran
tangan tulus Gus Dur. Beliau gembira dan tak minta balas jasa.
Sang
Zahid; Sering Tak Punya Uang
Suatu
hari, di tengah mengaji kitab kuning, Ibu Shinta mengatakan bahwa organisasi
yang dipimpinnya ; “Puan Amal Hayati”, tak lagi punya uang yang cukup. Beliau
menyampaikan hal itu kepada kami, termasuk saya, karena saya wakilnya sekaligus
juga pendiri di organisasi itu, sejak kelahirannya, tahun 2001. Keadaan
organisasi yang papa itu sempat diceritakan kepada Gus Dur. Tak lama setelah
itu, Gus Dur rajin menulis artikel untuk berbagai media. Dan honor
artikel-artikel tersebut seluruhnya diberikan untuk organisasi isteri
tercintanya itu. Ibu Shinta, melalui organisasi ini, ingin perempuan-perempuan
pesantren bangkit, cerdas, diperlakukan adil dan punya harapan yang baik pada
masa depan mereka, selama-lamanya.
Adik
saya, sekaligus keponakan Gus Dur; Nanik Zahiro, juga bercerita kepada saya,
mirip seperti di atas. Ketika masih kuliah di Institute Ilmu Al Qur’an,
Jakarta, awal tahun 90 an, dia pernah kehabisan uang untuk makan dan keperluan
kuliahnya. Kiriman dari ayahnya di Tambak Beras, Jombang, belum juga tiba. Dia
datang ke Gus Dur di kantor PBNU untuk meminta bantuannya. Meski ketika itu Gus
Dur tak punya uang, beliau tak menolak. “Tunggu sebentar ya? Saya akan seminar
dulu”. Tidak lama sesudah itu beliau kembali dan menyerahkan amplop honor
seminar yang masih tertutup rapat itu kepada keponakannya. “Ambil seperlunya
ya?”. Nanik mengambil seperlunya. Tetapi keperluan itu nyatanya adalah seluruh
isi amplop itu. Dan Gus Dur diam saja. “Ya sudah, gak apa-apa”.
Dulu,
ketika masih memimpin NU, Gus Dur juga melakukan hal serupa. Surahman, tetangga
desa saya yang pernah bertugas menunggu kantor PBNU sekaligus OB, bercerita
kepada saya. Gus Dur menerima banyak sekali surat dari umatnya di daerah ;
pengurus NU, Kiyai, petani, nelayan, santri dan lain-lain. Isinya permohonan bantuan
dana untuk keperluan yang beragam. Gus Dur membacanya satu persatu. Ia
mengambil kartu pos wesel dan menulisnya dengan tangannya sendiri. Di dalamnya
tertera angka rupiah tertentu. Gus Dur mengambil honor-honor yang diperolehnya
dari tulisan yang dimuat atau dari seminar yang dihadirinya, lalu dibagi
menurut angka yang tertera dalam kartu pos wesel itu. Gus Dur meminta Surahman
membawa ke kantor Pos dan mengirimkannya ke alamatnya masing-masing. Pengurus
PBNU yang lain tak pernah tahu soal ini, kecuali dari mulut Surahman.
Maka
Gus Dur memang sering tak punya uang. Sang Zahid di manapun sering tak punya
uang, sebab uang sering mengganggu pikiran, bahkan acap bikin malapetaka.
Beliau juga tak pernah menceritakan kepada siapapun soal rizki yang sudah dibagikannya
untuk mereka yang memerlukannya, kecil maupun besar. Gus Dur, saya yakin,
selalu tak ingin membuat orang yang memintanya kecewa atau pulang ke rumahnya
dengan wajah duka dan tangan yang tak bawa apa-apa. Gus Dur tentu sudah membaca
kitab al Aghani, karya raksasa al Ishfahani. Di dalamnya ada bait-bait nyanyian
gubahan penyair besar Abu al Atahiyah, seperti ini :
إذا المرء لم يعتق من المال نفسه
تملكه المال الذى هو مالكه
ألا إنما مالى الذى أنا منفق
وليس لى المال الذى انا تاركه
إذا كنت ذا مال فبادر به الذى
يحق وإلا استهلكته مها لكه
إذا المرء لم يعتق من المال نفسه
تملكه المال الذى هو مالكه
ألا إنما مالى الذى أنا منفق
وليس لى المال الذى انا تاركه
إذا كنت ذا مال فبادر به الذى
يحق وإلا استهلكته مها لكه
Jika
orang tak bisa bebaskan jiwanya dari harta
Harta itu pasti akan menjeratnya
Ingatlah, hartaku adalah apa yang sudah aku berikan
Bukan yang aku simpan di rumah
Jika engkau punya harta
Berikan segera kepada yang perlu
Jika tidak, bencana akan menghancurkannya
Harta itu pasti akan menjeratnya
Ingatlah, hartaku adalah apa yang sudah aku berikan
Bukan yang aku simpan di rumah
Jika engkau punya harta
Berikan segera kepada yang perlu
Jika tidak, bencana akan menghancurkannya
Jika
tak ada lagi yang bisa diberikan Gus Dur, karena memang tak punya, beliau akan
berpesan kepada mereka seperti nasehat Ibnu Athaillah al Sakandari ini :
لا يكن تأخر أمد العطاء مع الالحاح فى الدعاء موجبا ليأسك فهم ضمن لك الاجابة فيما يختاره لك لا فيما تختار لنفسك وفى الوقت الذى يريد لا فى الوقت الذى تريد
لا يكن تأخر أمد العطاء مع الالحاح فى الدعاء موجبا ليأسك فهم ضمن لك الاجابة فيما يختاره لك لا فيما تختار لنفسك وفى الوقت الذى يريد لا فى الوقت الذى تريد
“Seyogyanya,
tertundanya pemberian sesudah engkau mengulang-ulang permintaan kepada Tuhan,
tidak membuatmu patah hati atau putus asa. Dia menjamin pengabulan permintaanmu
sesuai dengan apa yang Dia pilih bukan yang kamu pilih, dan pada waktu yang Dia
kehendaki, bukan pada saat yang engkau kehendaki”.
Jika
begitu Gus Dur adalah sang Zahid. Dalam terma misitisisme Islam, ia adalah
seorang yang bersahaja, yang selalu rela atas pemberian Tuhan, yang tak protes
pada-Nya ketika tak punya apa-apa. Ia yang tak berhasrat pada hari ini dan
bernilai rendah. Ia yang tak pernah gelisah ketika kehilangan kemegahan,
kehormatan dan kenikmatan benda-benda. Karena ia tahu, sejak awal setiap orang,
sungguh, tidak punya apa-apa, lalu Tuhan memberinya, Cuma-cuma. Jika kemudian
dia tak lagi punya apa-apa, seharusnya juga tidak apa-apa. Mengapa harus
pusing?. Ia yang tak pernah bergantung pada makhluk Tuhan. Ia yang selalu
memulangkan segala keputusan kepada Allah, karena semuanya sungguh-sungguh
milik Dia.
Tarekat
dan Do’a-Do’a Gus Dur
Orang-orang
yang dekat Gus Dur, bercerita, bahwa jika tak ada teman yang diajak bicara dan
beliau sendirian, maka dalam waktu yang sepi itu beliau membaca surah al
Fatihah, entah berapa kali, lalu “tawassul” kepada Nabi dan berdo’a untuk
dirinya sendiri, untuk para wali (para kekasih Tuhan) dan ulama yang telah
wafat. Itulah jalan sepiritual (thariqah)nya. Tawassul dan do’a-do’a Gus Dur
itu kini telah menyebar. Beliau menyanyikannya dengan nada-nada elegi, sendu.
Bait-bait Tawasul dan do’a tersebut sesungguhnya tidaklah asing bagi para
santri. Ia telah berabad disenandungkan di pesantren-pesantren dan surau-surau.
Suara Gus Dur memang tak semerdu suara Hadad Alwi atau lainnya, tetapi jika
beliau mengalunkannya, terasa memiliki makna keindahan mitis yang menghunjam
kalbu.
Inilah
do’a-do’a yang selalu dibaca Gus Dur di samping do’a yang lain. Semua orang
mungkin sudah tahu do’a-do’a ini. Yang pertama do’a ampunan yang diawali dengan
tawassul kepada dan melalui al Musthafa, Nabi Muhammad Saw. Sebagian orang
menyebut “tawassul” sebagai praktik kemusyrikan, karena meminta kepada orang,
bukan kepada Tuhan. Ini jenis lain dari kedangkalan dan ketakpahaman. Yang
kedua do’a pertaubatan. Konon yang ini (doa pertaubatan), ditulis oleh Abu
Nawas, sang cendikia yang jenaka dan cerdas itu. Ia, ketika muda, pernah
menjalani kehidupan glamor dan urakan, tetapi itu kemudian disadari akan
mencelakakannya kelak. Maka ia bertobat dan hidup sebagai zahid.
Dengan
do’a-do’a itu, kita tentu paham bahwa beliau selalu mohon ampunan kepada Tuhan.
Para Nabi, orang-orang arif dan orang-orang yang rendah hati setiap hari mohon
ampunan-Nya, ratusan dan ribuan kali.
Do’a
Pertobatan 1
مولاى صل وسلم دائما احمدا
على حبيبك خير الخلق كلهم
يا رب بالمصطفى بلغ مقاصدنا
واغفر لنا ما مضى يا واسع الكرم
هو الحبيب الذى ترجى شفاعته
لكل هول من الاهوال مقتحم
مولاى صل وسلم دائما احمدا
على حبيبك خير الخلق كلهم
يا رب بالمصطفى بلغ مقاصدنا
واغفر لنا ما مضى يا واسع الكرم
هو الحبيب الذى ترجى شفاعته
لكل هول من الاهوال مقتحم
Wahai
Tuhanku,
Anugerahi kedamaian dan keselamatan
Selama-lamanya
Pada sang kekasih-Mu : Ahmad
Ciptaan-Mu yang terbaik dari semuanya
Anugerahi kedamaian dan keselamatan
Selama-lamanya
Pada sang kekasih-Mu : Ahmad
Ciptaan-Mu yang terbaik dari semuanya
Berkat
al Musthafa, sampaikan maksud-maksudku
Ampunilah dosa-dosa yang lewat
Wahai Yang Maha Mulia
Ampunilah dosa-dosa yang lewat
Wahai Yang Maha Mulia
Al
Musthafa, dialah sang kekasih
Pertolongannya diharap-harap
Bagi setiap kegelisahan yang memuncak
Pertolongannya diharap-harap
Bagi setiap kegelisahan yang memuncak
Do’a
Pertobatan 2
الهى لست للفردوس اهلا
ولا اقوى على نار الجحيم
فهب لى توبة واغفر ذنونى
فإنك غافر الذنب العظيم
ذنوبى مثل اعداد الرمال
فهب لى توبة يا ذالجلا ل
وعمرى ناقص فى كل يوم
وذنبى زائد كيف احتمالى
الهى عبد ك الآ تى اتاك
مقرا بالذنوب وقد دعا ك
وان تغفر فا نت لذاك اهل
وان تطرد فمن نرجو سواك
الهى لست للفردوس اهلا
ولا اقوى على نار الجحيم
فهب لى توبة واغفر ذنونى
فإنك غافر الذنب العظيم
ذنوبى مثل اعداد الرمال
فهب لى توبة يا ذالجلا ل
وعمرى ناقص فى كل يوم
وذنبى زائد كيف احتمالى
الهى عبد ك الآ تى اتاك
مقرا بالذنوب وقد دعا ك
وان تغفر فا نت لذاك اهل
وان تطرد فمن نرجو سواك
Wahai
Tuhanku
Aku bukan orang yang pantas tinggal di surga-Mu
Tetapi aku juga tak sanggup di neraka-Mu
Anugerahi aku kemampuan kembali pada-Mu
Dan ampuni dosa-dosaku
Karena hanya Engkaulah
Satu-satunya yang bisa memberi ampun
dosa-dosa besar
Aku bukan orang yang pantas tinggal di surga-Mu
Tetapi aku juga tak sanggup di neraka-Mu
Anugerahi aku kemampuan kembali pada-Mu
Dan ampuni dosa-dosaku
Karena hanya Engkaulah
Satu-satunya yang bisa memberi ampun
dosa-dosa besar
Dosa-dosaku
bak jumlah butir pasir di bumi
Anugerahi aku kemampuan kembali pada-Mu
Wahai Yang Maha Agung
Anugerahi aku kemampuan kembali pada-Mu
Wahai Yang Maha Agung
Umurku
berkurang setiap hari
Tetapi dosaku bertambah-tambah saja
Bagaimana aku sanggup menanggunya
Tetapi dosaku bertambah-tambah saja
Bagaimana aku sanggup menanggunya
Wahai
Tuhanku,
Hamba-Mu yang berdosa
Telah datang, telah datang
Mengakui begitu banyak dosa
Dan ia telah sungguh-sungguh meminta-Mu
Hamba-Mu yang berdosa
Telah datang, telah datang
Mengakui begitu banyak dosa
Dan ia telah sungguh-sungguh meminta-Mu
Bila
Engkau mengampuniku
Karena hanya Engkaulah yang bisa mengampuni
Tetapi bila Engkau menolakku
Kepada siapa lagi aku bisa berharap
Karena hanya Engkaulah yang bisa mengampuni
Tetapi bila Engkau menolakku
Kepada siapa lagi aku bisa berharap
Sang
Pengembara: Selamat Jalan!
Gus
Dur adalah satu dari sedikit para pengembara (ghuraba). Sebagaimana umumnya
pengembara, ia sering menjadi subyek yang aneh, asing, dicurigai atau bahkan
dimusuhi oleh mereka yang tak mengerti dan tak paham. Pengembara sering
dianggap aneh oleh orang-orang di kampung, bukan hanya pakaian dan perilakunya,
tetapi juga pikiran-pikirannya. Maka ia acap dianggap pribadi yang aneh atau
“nyleneh” atau boleh jadi “orang gila”. Jika ia kemudian mengungguli otoritas
yang ada di sana dan menarik semakin banyak pengikut yang mengaguminya, maka ia
akan segera dianggap mengganggu kenyamanan dan kemapanan otoritas sosial.
Kaum
pengembara (Ghuraba) akan selalu hadir pada setiap situasi sejarah social yang
menjelang runtuh atau ketika jalan sejarah tak lagi lurus. Mereka hadir untuk
mendakwahkan kembali ide keasalan dan janji primordial manusia, ketika mereka
belum mewujud; “alastu”, yakni “alastu bi rabbikum?. Qalu Bala”(bukankah Aku
Tuhanmu?.Mereka menjawab : Ya, Engkau Tuhan kami). Para pengembara tersebut
memproklamirkan kembali Tauhid, tentang Kemahaesaan Tuhan kepada siapa semua
yang ada di muka bumi harus menyerah, bersimpuh dan menundukkan diri, dan
tentang Kehanifan (kejujuran, ketulusan dan jalan lurus). Di atas landasan itu,
mereka, para pengembara itu, tampil gagah untuk memberangus praktik-praktik
kekuasan yang despotik, tiranik dan membodohi rakyat jelata dengan berlindung
di bawah ketiak berhala-berhala yang disebutnya sebagai tuhan-tuhan. Pada saat
yang sama mereka hadir untuk menancapkan kembali pilar-pilar kemanusiaan yang
hilang atau diberangus. Ide-ide kemanusiaan itu tak pelak mengguncang dan
merontokkan setiap otoritas politik, kebudayaan dan keagamaan yang diciptakan
untuk kepentingan dan kenikmatan duniawi bagi dirinya sendiri atau bagi
kelompoknya.
Gus
Dur adalah salah satu sang pengembara itu. Ia seperti tak pernah lelah berjalan
dan terus berjalan, mengembara ke mana-mana, ke gurun pasir yang kering dan
mendaki gunung-gemunung yang terjal dan meliuk-liuk, menapaki jalan setapak
yang lengang. Ia melihat keindahan sekaligus juga kengerian. Ia melihat banyak
jalan yang tak lagi lurus dan yang belum selesai.
Dengarlah
apa kata Nabi yang agung, Muhammad bin Abd Allah, Saw, tentang kehadiran para
pengembara itu :
بدأ الاسلام غريبا وسيعود غريبا كما بدأ
“Islam hadir bagai orang asing, aneh, bagai pengembara. Ia akan kembali asing, aneh, seperti awal. Maka berbahagialah wahai orang-orang yang mengembara”.
بدأ الاسلام غريبا وسيعود غريبا كما بدأ
“Islam hadir bagai orang asing, aneh, bagai pengembara. Ia akan kembali asing, aneh, seperti awal. Maka berbahagialah wahai orang-orang yang mengembara”.
Ketika
Nabi Islam hadir menyampaikan pesan-pesan suci Tuhan: kemerdekaan, kesetaraan,
keadilan dan penghormatan manusia, beliau Saw menjadi manusia pengembara, orang
asing, diasingkan, diusir dan dianggap manusia gila, oleh orang-orang yang tak
paham, tak mengerti, pimpinan Abu Jahal (bapak orang-orang bodoh).
Mungkin
keadaan dunia hari ini sudah seperti zaman sebelum Nabi hadir. Yakni ketika
uang, kursi, dan warna kulit dituhankan banyak orang. Ketika perempuan
direndahkan dan diekspoitasi secara seksual. Ketika kasta rendahan dan mereka
yang miskin dijadikan budak dan tuan menjadi seperti Tuhan. Maka Tuhan lalu
menghadirkan Gus Dur sebagai pengembara. Dan Gus Dur, pengembara yang terus
berkelana membawa pesan-pesan kemanusiaan universal itu dan memberangus tirani
manusia atas manusia.
Hari
ini sang pengembara telah pulang, Selamat Jalan!.
Hari ini orang asing itu telah pulang, Selamat Jalan!
Hari ini orang hanif itu telah pulang. Selamat Jalan!
Dunia mengantarmu dengan do’a. Selamat Jalan!
Suara-suara riang di langit menyambutmu : Marhaban!
Selamat Datang!
وقلوب اهل ودادكم تشتاق
والى لذيذ لقائكم ترتاح
Hari ini orang asing itu telah pulang, Selamat Jalan!
Hari ini orang hanif itu telah pulang. Selamat Jalan!
Dunia mengantarmu dengan do’a. Selamat Jalan!
Suara-suara riang di langit menyambutmu : Marhaban!
Selamat Datang!
وقلوب اهل ودادكم تشتاق
والى لذيذ لقائكم ترتاح
Hati
dan jiwa para pencintamu merinduimu
Dan kelezatan bertemu engkau
Membuat mereka damai,
Dan kelezatan bertemu engkau
Membuat mereka damai,
sumber
di ambil dari :
http://www.daraltauhid.com/artikel/16-matahari-telah-pulang-merenungkan-sufisme-gus-dur.html